Lapisannya mengandung gas dan udara, dengan paduan warna yang tak pernah statis, seolah memperlihatkan langit sebagai  kanvas alam tanpa berkas upaya jemari manusia.
Tiap sore memasuki senja, menjadi ruang waktuku untuk menikmatinya selepas upaya bekerja. Penat, jenuh serta bosan pun mendadak hilang, mana kala mata menatapnya menerawang jauh memahami pribadinya yang luas di angkasa raya.
Tertegun sembari memangkukan dagu di telapak tangan, membiarkan dua bola mata ini yang masih diijinkan menyaksikan mentari bersemarak menyingsing ke barat.
Kadang cerah, kadang redup mendung. Kadang sayu, kadang pula guratnya penuh semangat. Sementara Tempo di ujung barat jendela selalu siap menjadi kawan, bersalut gelap menjadi siluet dalam tempo yang singkat.
Di kamar berbayar inilah ku dokumentasikan langit yang tak kalah teduhnya dari pemandangan di puncak Tengger. Langit Palmerah, juga langit ibukota yang mulai bergeliat menampakkan pribadi sebenarnya yang liar, usai mega terbenam di ufuk barat.
Kegembiraan di kostan ini salah satunya adalah, tiap hari nyaris disaji mega jingga. Oase yang bersemarak dalam tatanan kota yang tipis tenggang rasa.Â
El nino masih menguasai alam raya. Gerah membulirkan keringat kecut pekat.Â
Lalu, pemandangan langit berbalut ungu oranye ini rasanya agak istimewa. Barangkali spesial untuk hari itu (14/2) yang katanya hari kasih sayang. Hangat, lembut menyengat mata.