Saya teringat bagaimana Tuhan meresponi ungkapan dan keinginan saya yang amat sederhana. Itu pun hanya saya nyatakan dalam obrolan ringan dengan-Nya sambil menali simpul tali sepatu saya yang mulai koyak di sana-sini.
Ketika itu saya akan berangkat ke kampus. Sembari duduk di depan pintu kosan dengan asik menyusun simpul tali sepatu untuk bersiap ke ‘sekolah’, saya membuka obrolan dengan Tuhan.
“Tuhan, lihat deh sepatuku. Wis bolong-bolong di bagian bawah. Kulitnya wis ngelupas. Kalo hujan turun nanti aku pakai apa buat ke kampus, masa pake sandal?” begitu kira-kira saya berucap seolah ngobrol dengan seorang sahabat.
Memang, beberapa waktu terakhir saat hujan mulai rajin mengguyur Bogor, saya menaruh rasa kuatir soal sepatu. Pun demikian dua pasang sepatu yang saya punya mulai uzur bersamaan.
Menimba ilmu di Kota Hujan salah satu konsekuensinya memang harus siap berhadapan dengan hujan. Saat hujan mulai turun bertepatan dengan jam kuliah, dengan semangat saya mengenakan sandal jepit, mengemasi sepatu dalam kantung kresek dan memasukkannya ke dalam tas dan segera berlari ke kampus (catatan: setiba di kampus langsung cuci kaki dan mengenakan sepatu).
Tujuannya hanya satu, yakni untuk melindungi sepatu "tersayang" ini agar tidak basah. Karena bila basah akibat rembesan hujan, perlu waktu berhari-hari untuk bisa mengeringkannya secara manual di bawah matahari.
Maklum, cuaca di Bogor sering tak bisa diprediksi. Pagi cerah menawan, lalu siang hari mendadak bergulat mendung diikuti hujan lebat.
Dengan kondisi sepatu-sepatu yang mulai susut itu, selalu ada rasa kuatir ketika hujan turun, karena dalam waktu beberapa detik kaos kaki ku mulai basah, terasa seperti ada sesuatu yang mulai banjir dan mengalir.
Terkadang ada rasa malu, pergi kemana-mana dengan sepatu kumal, bahkan untuk pergi ke gereja. Melewati etalase hanya berdecak harap, memandang terkesima sambil berimajinasi.
Satu minggu berlalu, Rabu, 8 Desember 2010, dalam perjalanan pulang praktikum mata kuliah Metode Penelitian Survai, saya menyusuri koridor Fakultas Ekonomi. Entah ada angin apa tiba-tiba teman seperjalanan pulang praktikum itu tiba-tiba berkata, “Fin, kaki lo ukuran berapa?”
Saya menganggap pertanyaan itu sebagai ledekan “Haha, ngeledek ya, mentang-mentang gue kecil pendek dan kaki gue juga kecil.”