Delapan belas tahun bermukim di Pulau Garam memberi kesan dan pelajaran penting yang mendalam bagi perantau, termasuk saya. Belajar tentang harmoni serta tenggang rasa yang menjadi ruang asimilasi.
Tinggal di sebuah wilayah yang sebagian besar penduduknya beragama muslim yang taat, memberi arti tersendiri dalam memaknai pluralisme yang kian dingin. Sebuah ruang belajar berasimilasi di sudut tanah berkapur ini.
Suara adzan surau kami pun bersemarak menyambut petang. Berbaur indah dengan aroma pasir pantai Siring Kemuning.
Seperti Bulan Ramadan tahun ini, ibu kembali berkesempatan menyuguhkan kolak kacang hijau dan es cao (es cincau hitam, kelapa muda dan parutan blewah) untuk bapak ibu dan remaja yang usai bertadarus. Seperti minggu-minggu sebelumnya, ibu pun berkesempatan andil di dapur mengolah nasi campur dan rawon, penganan khas yang disajikan setelah yasinan di rumah tetangga kami yang kebagian jadwal sebagai tuan rumah. Rantang dan piring aneka lauk pun beriringan dihantar ke rumah kami. Saya pun sempat merasakan tawa saat diajak menggelar tikar sebelum yasinan dimulai. Aneh? Tentu tidak. Usai tarawih dan kegiatan rutin yang digelar tiap kamis dan minggu petang itu justru menjadi titik kami berinteraksi satu sama lain.
Guyub, begitu kira-kira kami menerjemahkan bahasa tenggang rasa yang menggeliat di Tanjung Bumi, Bangkalan.
Meski demikian, tak berarti perjalanan interaksi ini mulus tanpa kerikil. Beberapa teman di sekolah kerap menggunjingkan secuil perbedaan. Namun itulah bocah. Cara sekumpulan anak kecil yang sama-sama sedang belajar memaknai dan memahami perbedaan yang kasat mata.
Lewat distraksi kecil-kecilan itu, saya baru menyadari bahwa telah belajar tentang konsep asimilasi. Sebuah konsep sosial yang baru saya pahami melalui Sosiologi Umum yang diajarkan di bangku perguruan tinggi. Merefleksikan pengalaman ini, menarik minat saya untuk kembali membuka catatan tiga dasawarsa Michael R. Dove, antropolog perubahan iklim dan budaya yang mengurai dinamika oleh Suku Wana di bagian timur Sulawesi Tengah. Dalam pokok pembicaraan Jane Monnig Atkinson, Dove mencatat, bahwa Suku Wana telah mengalami tekanan-tekanan dari pejabat pemerintah, misionaris-misionaris dan kelompok lainnya -terkait kepercayaan tradisional yang mereka anut. Melalui perbedaan pandang tersebut, justru membangkitkan kesadaran Suku Wana akan masalah itu, yang kini menganggap kepercayaan mereka sebagai 'agama yang belum menjadi agama'. Meski dalam konteks ruang berbeda, saya menggaris bawahi simpul yang berkenan dipetik. Bahwa keyakinan yang saya anut mestinya tak boleh sekadar demi melengkapi syarat dan data statistik, melainkan merasuk melalui cerminan sikap dan tutur teladan praktis. Sebuah pelajaran perjalanan kebudayaan tradisional dalam modernisasi yang kian dinamis. *** Namun lepas dari itu, bicara tentang Madura seolah memberi makna yang lekat. Meski oleh sebagiab besar orang luar (Pulau Madura) dipersepsikan sebagai salah satu etnis berwatak kaku dan menyeramkan, sejatinya mereka berdiaspora mencerminkan nilai ketekunan yang gigih, kerja keras dan toleransi. Di tengah situasi dunia yang kian beku nan panas, Madura tetap menjadi 'garam' yang memberi rasa. Lantas, apalah artinya gulai tanpa garam -selain jadi sepinggan olahan yang tawar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H