[caption caption="Ilustrasi: kebijakanaidsindonesia.net"][/caption]
Sambil menyalakan api pawonnya, Lik Mar bercerita tentang tetangga kampung sebrang kali yang beberapa hari terakhir menjadi buah bibir di dusunnya. Perempuan paruh baya yang baru saja pulang ngarit untuk ingon sapinya itu, kembali sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam lik Nono suaminya dan putranya, Pras.
Sambil menikmati rengginang dan peyek Ikan Wadher yang tersaji di meja pawon, saya dan ibu yang sowan di rumahnya menyimak penuturan bulik saya itu yang sehari-harinya ngarit dan ke sawah.
Bulik yang sudah dua puluh lima tahun tinggal di Kampung Kalongan, Desa Peniwen, di kaki Gunung Kawi Kabupaten Malang itu memang  seorang tani.
Bersama ibu-ibu petani (tepatnya buruh tani) lik Mar sering ngerumpi sambil nandur atau ngarit rumput.
Di Kampung Krajan, yang bersebelahan dengan Kampung Kalongan itu memang sedang hangat membicarakan sebab wafatnya seorang pemuda, yang sehari-harinya juga sebagai buruh tani.
Tatapan matanya tampak curiga sekaligus sangsi saat membagikan hasil rumpiannya sore itu.
Pemuda yang biasanya ikut macul dan nandur pari itu, selama kurang lebih delapan bulan ini tidak pernah lagi muncul di pematang sawah sambil nyunggi karung berisi rumput.
Sontak para rekan sejawat nyawah-nya itu terkejut saat mendengar berita duka bahwa pemuda yang pendiam itu kini telah berpulang tanpa sebab.
"Tirosse tiang-tiang, lare niku sedho mergo sakit HIV, mbak Tri," ujarnya dengan wajah serius saat andum cerita pada ibu saya yang yang turut sibuk nggongso kopi  (kata orang-orang, pemuda itu meninggal karena sakit HIV).
Saya yang sedang asyik makan makan wadher goreng sambil bermain dengan Blacky -anjing peliharaan mbah kakung- terhenyak mendengar ceritanya itu.