"Siapa yang pernah ke Madura? Ayo ngacung!"
Saya sudah pernah. Lebih dari sekali. Berkali-kali. Minimal setahun sekali. Hanya untuk mencicipi rasa asli Sate Madura rasa original ayam dan juga sapi. Kenapa tidak di Jakarta saja? Kenapa jauh-jauh ke sana? Toh di Kebayoran Lama juga banyak Sate Madura. Di Palmerah Selatan, apalagi.
Lucunya, di Madura tak ada tulisan "Sate Madura" di gerobak-gerobak abang sate yang komplit dengan kipas bambunya. Seperti halnya di Sumatera Barat, tak ada label " RM Padang" saat kita bertandang ke Kota Padang.
Saya pun penasaran, kenapa Orang Madura bisa tersebar di mana-mana? Sate dan soto selalu identik dengan Madura (selain Sate padang tentunya). Melanjutkan rasa ingin tahu impulsif, saya "iseng" keliling Kota Bogor mencari jawabannya. Bogor, sebagai salah satu sampel untuk mengeruk hipotesa yang berkeliaran di kepala.
Dalam penelusuran ini, saya menemukan sebuah konsep menarik sebagai pijakan berpikir. Cendekiawan menyebutnya dengan istilah "Modal Sosial." Modal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan sate dan soto Madura bertebaran di mana-mana.
Singkatnya Begini
Madura, pulau yang cukup panas. Terik banget. Bikin sweating deh pokoknya.
Secara ekologis, Â Madura kekurangan tanah vulkanis. Tanahnya campuran pasir kuarsa dan mineral lainnya yang mudah digerogoti erosi oleh air selama musim penghujan dan oleh angin selama musim kemarau. Ini menjadi faktor pendorong orang Madura berduyun-duyun bermigrasi ke berbagai kota di Indonesia.
Satu pergi, seribu lainnya pun mengiringi. Ini yang kemudian saya juluki dengan istilah 'Migrasi Berantai'.
Hubungan kuat yang berbasiskan persaudaraan, pertemanan dan pertetanggaan yang dimiliki oleh orang Madura merupakan faktor penting berlangsungnya migrasi berantai.