"Lalu belajar dari siapa? Apa ada penyuluh dinas pertanian dan peternakan yang mendampingi peternak di sini?"
"Jangankan dinas pertanian peternakan, wong orang yang senior saja nggak banyak yang mau sharing ilmu," ujarnya.
Mendengar jawabannya saya sedikit maklum bila "senior-senior" di desanya itu agak tertutup soal ilmu ternak ayam. "Takut disaingi," katanya lagi.
[caption caption="Bagian belakang kandang dijadikan tempat untuk menyimpan stok air minum untuk ratusan ekor ayam. Bersebelahan dengan kebun jagung dan sengon. FOTO: YAKOB ARFIN"]
Ia sendiri belajar otodidak dari majalah atau tabloid bekas sejenis Trubus dan pengalaman ternak lele yang akhirnya ditutup karena merugi.
Meski tampak sedikit kecewa karena terbatasnya informasi dan sempitnya ruang berbagi antar peternak, ia justru belajar pentingnya untuk berbagi ilmu.
Bersama Handoko, ia membuka diri bagi masyarakat yang tergabung dalam Balai Latihan Kerja (BLK) yang diasuh salah satu rumah ibadah yang ada di desanya.
"Nggak terbatas buat anak-anak muda atau bapak-bapak yang ada di BLK, siapa pun yang mau belajar boleh ke sini. Aku malah seneng," ungkapnya tampak antusias.Â
Meski kandang miliknya masih berteknologi sederhana dan terkategori sebagai peternak gurem, yang keuntungannya baru cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, ia cukup senang tat kala salah satu rekannya yang pernah belajar manajemen pengelolaan hasil ternak kini telah memiliki kandang ayam dengan skala yang lebih besar.
"Aku cuma pingin ada bimbingan teknis dari dinas. Pingin belajar soal kesehatan ternak agar bisa menerapkan lingkungan usaha ternak ayam petelor yang sehat buat masyarakat di sini," ujarnya.
[caption caption="Lito Demus, antusias mengumpulkan butir-butir telur di kandang ayam mbah kakungnya ini. FOTO: YAKOB ARFIN"]