[caption id="attachment_356360" align="aligncenter" width="450" caption="Sumber Ilustrasi Foto: http://perumperhutani.com/csr/phbm/"][/caption]
Pemberitaan soal mbah Asyani ramai dibicarakan. Tak luput dikawal oleh media mulai dari persidangan hingga empati masyarakat terhadap nenek Asyani yang hilir mudik menyambangi beliau untuk mengungkapkan rasa simpatinya yang dalam.
Bahkan, sebagaimana diberitakan Kompas.com, Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar pun mengunjungi nenek berusia Asyani 70 tahun ini, di rumahnya di Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Ibu menteri berusaha menenangkan dan memberi motivasi kepada nenek Asyani untuk lebih kuat.
Kasus nenek Asyani yang berlatar migran Madura tersebut berkonstelasi dengan kasus mbah Harso di Gunung Kidul, Yogyakarta, yang mengalami kasus serupa.
Tumpulnya hukum dan keadilan pun menjadi sorotan. Bukan hal yang tabu lagi di telinga masyarakat bahwa hukum di negeri kita terkesan “tumpul ke atas tajam ke bawah.” Sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum di negeri ini terasa kian memudar.
Selain hal-hal tersebut di atas yang menarik perhatian saya yang rasanya kurang diberitakan secara komprehensif dan disorot oleh media massa adalah soal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM).
Sekilas tentang definisi berdasarkan World Agroforestry Centre, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama-sama antara Perum Perhutani dan masyarakat desa, atau Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan (MDH) dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) berdasarkan prinsip berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.
[caption id="attachment_356361" align="aligncenter" width="441" caption="Sumber Ilustrasi Foto: http://tataruangpertanahan.com/kliping-75-pengelolaan-hutan-masyarakat-lokal-tentukan-masa-depan.htm"]
PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan professional, dimana kriteria masyarakat yang dapat menerima program PHBM antara lain: Masyarakat yang kurang mampu/miskin, masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian, Masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan termasuk dalam hal ini orang yang berstatus janda yang hidup di sekitar kawasan hutan.
Hal ini (PHBM) dirasa perlu untuk diwartakan oleh media kepada masyarakat dan tak melulu menyajikan palu hukum yang tumpul. Apabila hal ini menjadi sorotan media, maka program-program pemerintah berbasis kehutanan yang belum banyak diketahui masyarakat dapat dievaluasi kembali implementasinya.
Benarkah selama ini masyarakat sekitar hutan diikut sertakan secara aktif dalam pengelolaan hutan? Tidak hanya menjadi obyek implementasi program, tetapi juga dilibatkan secara aktif untuk mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya.
Partisipasi masyarakat cukup penting dalam keikutsertaannya menjaga sumber daya alam kita. Bukan hanya menjadi penonton yang kemudian dengan ketidakberdayaannya “dijebloskan” begitu saja ke meja hijau.
Lalu, apakah benar implemetasi PHBM sudah terlaksana dengan apik sehingga tidak menimbulkan riak-riak konflik vertikal?
Harapan saya, evaluasi oleh pemerintah stakeholder terhadap PHBM di aras unit lokal dan nasional ini dapat meminimalisir konflik di tataran akar rumput dan tidak semakin bereskalasi menyeringai terhadap kaum yang tak berdaya.
Referensi:
http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/leaflet/LE0168-10.PDF
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H