[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Masyarakat Batak Toba menari tor-tor saat melakukan unjuk rasa di kantor Konjen Malaysia di Medan, Rabu (20/6/2012). Mereka mengecam keras pihak Malaysia yang mengklaim tarian tor-tor dan alat musik gondang sembilan. (FOTO: DEDY SINUHAJI/TRIBUN MEDAN)"][/caption]
Pro-kontra klaim Malaysia atas tarian tortor dan Gordang Sambilan asal Sumatera Utara (Sumut), mulai menemui titik terang. Setelah kantor Kedutaan Malaysia di Jakarta dan kantor Konsulat Jenderal Malaysia di Medan didemo (20/6/2012), barulah terjawab alasan Malaysia ‘mencatat’ tarian tortor dalam warisan budaya mereka.
Sebelumnya di kantor berita Bernama menyebutkan, Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Datuk Seri Dr Rais Yatim akan mendaftarkan tortor dan Gordang Sambilan dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005. Jika tortor dan Gordang Sambilan sudah resmi terdaftar, maka pemerintah Malaysia akan mengucurkan dana pembinaan dan promosi wisata.
Melalui Konsul Jenderal Malaysia di Medan, Norlin Binti Othman, mengatakan permasalahan yang muncul soal pengakuan tari Tor-tor dan Gordang Sambilan terjadi akibat kesalahpahaman dalam mengartikan kata "diperakui atau memperakui".
"Diperakui atau memperakui di Malaysia dimaksudkan diangkat atau disahkan atau disetujui, bukan diklaim seperti yang diartikan di Indonesia. Masalah pengartian kata atau kalimat memang tampaknya sering menimbulkan masalah, tetapi dengan penegasan seperti ini, saya harap tidak ada masalah lagi," katanya.
Nah, ini dia sumber masalah itu. Ada perbedaan persepsi antara ‘mengakui’ versi Malaysia dan ‘mengklaim’ versi Indonesia. Masyarakat Indonesia, khususnya warga Batak, sudah terlanjur tersulut emosinya sehingga berita dari Malaysia itu direspon negatif. Apalagi, sebelumnya, Malaysia telah melakukan klaim sejumlah atraksi adat, makanan daerah dan pulau di wilayah perbatasan. So, sebaiknya Malaysia harus berhati-hati dalam menyampaikan informasi publik yang bisa berbenturan konflik dengan Negara tetangga.
Pun demikian dengan Indonesia. Selain adanya reaksi berlebihan, pemerintah RI juga melakukan kesalahan fatal dengan belum mendaftarkan budaya tortor dan gordang sambilan ke Badan PBB urusan kebudayaan Unesco. Padahal, urusan seperti ini sebenarnya cukup dikerjakan oleh beberapa orang di Kantor Kementerian Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif pimpinan Marie Pangestu. Apalagi, Bu Menteri saat ini sudah memiliki Wakil Menteri. Idealnya, kantor kementerian ini bekerja lebih giat dan lebih kreatif, tanpa menunggu perintah atasan dan reaksi publik.
Persoalan yang bisa muncul kemudian hari adalah interpretasi istilah ‘mengakui’ versi Malaysia dan ‘mengklaim’ versi Indonesia, menemui jalan buntu. Bisa jadi, Malaysia tetap ngotot mencatat tortor dan gordang sambilan, sedangkan (masyarakat) Indonesia tetap berkeras menolaknya. Jika hal ini terjadi, maka sudah saatnya para diplomat di kedua Negara duduk bersama dan mencarikan solusi terbaik. Bukan tak mungkin, persoalan ini difasilitasi oleh kedua kepala Negara.
Mudah-mudahan, polemik ini bisa segera tuntas. Berlarut-larutnya kasus tortor dan gordang sambilan ini bisa menghabiskan energi yang percuma. Masyarakat dan media massa harus tetap mengawal isu yang lebih membahayakan NKRI, seperti kasus-kasus korupsi.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :
|Â My Blog |Â Kompasiana |Â Website |Â Facebook |Â Twitter |Â Posterous |Â Company|Â Politics |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H