[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Maket proyek MRT Dukuh Atas - Lebak Bulus (KOMPAS)"][/caption]
Dalam waktu dekat akan ada kebijakan baru di ruas jalan ibukota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana untuk membatasi jumlah kendaraan bermotor dengan sistem warna kendaraan. Konon, tindakan ini dilakukan pemerintah, sebagai cara mengatasi masalah kemacatan lalu-lintas yang kian parah.
Efektifkah cara ini dilakukan?
Menurut kabar yang saya dengar di Radio Trijaya FM pagi tadi, rencana ini dibuat oleh Dinas Perhubungan DKI bersama Ditlantas Polda Metro Jaya. Dan dalam waktu dekat, akan diumumkan oleh Bang Kumis ‘Sang Penguasa Ibukota’.
Meski kebijakan ini diterapkan saat penyelenggaraan Sea Games SEA Games XXVIÂ pada November 2011 mendatang, namun kontroversi berdatangan.
Yang saya ingat dari talk show tersebut, ada tiga hal yang mendasari kajian pembatasan itu. Pertama, pembatasan kendaraan bermotor saat SEA Games memang penting dilakukan. Kedua, konsep pembatasan kendaraan bermotor ditentukan melalui kategori warga kendaraan gelap dan terang. Dan ketiga, rencana pembatasan kendaraan bermotor telah dikaji Pemprov DKI melalui Dinas Perhubungan dan mendapatkan masukan dari Ditlantas Polda Metro Jaya.
Sambil berkendara dengan mendengar radio, saya langsung berandai-andai. Jika mobil saya berwarna putih tak boleh melintas di hari kendaraan berwarna gelap, maka saya akan bertukar mobil dengan istri. Konsekuensinya, saya yang harus mengantar anak-anak ke sekolah. Dan jika kendaraan tetangga saya tak boleh melintas, tentu ia akan meminjam kendaraan tetangga yang lain
Tentunya, penyelesaian masalah kemacetan di Jakarta, tak semudah menyelesaikannya!
Bagi saya, kemacetan yang terjadi adalah buruknya pelayanan transportasi publik. Lihat saja, betapa berjubelnya calon penumpang di pinggir jalan menanti angkutan umum bisa kota atau metromini. Sementara itu, halte busway masih penuh sesak, terutama di jam-jam sibuk, masuk dan pulang kantor.
Saya harus menyiasati kemacetan di ibukota. Sejak lepas dari pendidikan di kampus, saya menabung untuk membeli mobil, demi tujuan kepentingan bisnis. Saya tak bisa membayangkan, jika saya harus ke sana-ke mari dengan angkutan umum yang menghabiskan waktu 1-2 jam di wilayah Jakarta. Belum lagi masalah social yang saya dapat di bis kota, seperti copet, pengemis, pengemudi ugal-ugalan hingga bau tak sedap yang menempel karena keringat sesama penumpang.
Busway memang menjadi solusi, tapi belum menjawab persoalan. Di banyak halte masih banyak penumpang antri mendapatkan bis yang longgar dan tak berjejal. Selain itu, masih ada titik-titik kemacetan yang disebabkan jalur busway bersinggungan dengan jalan umum.
So, bapak-ibu pemerintah yang terhormat,
Mohon izinkan saya kembali menyampaikan solusi jangka panjang, meski harganya mahal. Dalam tulisan sebelumnya saya sudah ‘menuntut’ pemerintah agar merealisasikan sarana MRT, seperti di Singapura. Ini sudah sangat mendesak dilakukan, apalagi butuh waktu lama dalam sosialisasi penerapannya.
Jika MRT konon baru teralisasi pada 2014 mendatang, maka tak mustahil banyak warga menjadi korban kampanye politik. Jika tak mulai sekarang, lalu kapan?
Salam Kompasiana!
Baca tulisan saya tentang mass rapid transit (MRT):
Mencermati Proyek MRT di Jakarta
Krisis Timur Tengah sama dengan Krisis BBM Dunia?
MRT Jakarta Sebaiknya Ditunda Dulu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H