[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ketika SPBU PT Pertamina kehabisan premium (Foto: AUFRIDA WISMI/Kompas)"][/caption]
PAK JUSUF KALLA (Jeka) tampaknya lagi sakit gigi. Bagaimana tidak? Seharusnya, Pak Kalla lebih fokus pada kapasitasnya saat ini sebagai Ketua Umum PMI, daripada bicara soal perlunya kenaikan harga BBM bersubsidi.
Di berita Opsi Terbaik, Naikkan Harga BBM, mantan wakil presiden itu bercerita panjang lebar tentang sulitnya menerapkan kebijakan pengaturan BBM bersubsidi, karena dikhawatirkan rawan terjadi penyelewengan di lapangan.
Dengan rasa hormat kepada Pak Jeka, saya kurang sependapat dengan usulan tersebut. Menurut saya, persoalan kebutuhan BBM masyarakat Indonesia saat ini bukanlah sebatas stok dan sumber energi. Dengan menggunakan kacamata lebih luas, persoalan ini sebenarnya adalah kenaikan harga BBM, yang mau tak mau harus mengikuti harga minyak dunia.
Bagi saya, ini adalah persoalan manajemen transportasi publik. Naik atau tidak harga BBM bersubsidi, masyarakat tetap harus mendapatkan kebutuhan transportasi. Mau naik 10 persen kek, 100 persen atau 1.000 persen sekali pun, rakyat tetap membutuhkan pelayanan transportasi. Maka dari itu, upaya penyelesaiannya bukan hanya satu atau dua opsi.
Lantas apa saja opsi yang ideal bagi kepentingan masyarakat luas? Ya tentu banyaklah.
Di tulisan saya sebelumnya berjudul Benahi Transportasi Dulu, Baru Naikkan Harga BBM, kembali saya tekankan bahwa menaikkan harga BBM bukan persoalan patut atau tak patut. Ini adalah tentang konsistensi kebijakan pemerintah dalam melindungi kebutuhan masyarakat. Pasal 33 UUD menyebutkan, bahwa kekayaan alam harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Pak Jeka tampaknya mulai meragukan sistem pengawasan distribusi BBM subsidi di Indonesia. Mudah-mudahan yang dimaksudkan adalah adanya kebocoran di level hulu. Saya berharap Pak Jeka punya data yang jelas tentang kebocoran distribusi BBM subsidi di level hulu. Ini harus terang benderang agar tak menimbulkan fitnah. Nah, kalau ada kebocoran BBM di hilir, ya repotlah PT Pertamina harus terus-terusan menolak permintaan pemilik mobil mewah yang ingin mengisi BBM jenis premium. Tapi kalau memang ini yang dipersoalkan Pak Jeka, sebaiknya memang setiap SPBU ditugaskan personil kepolisian.
Pak Jeka juga berceloteh, ”Naikkan saja, tidak ada orang miskin membeli bensin. Yang membeli bensin itu yang mempunyai motor dan mobil. Begitu harga mahal, mereka akan mengurangi perjalanan. Ini berbeda dengan beras yang semua orang mengonsumsinya,” ujarnya.
Wah… Pak Kalla tampaknya sudah mulai malas terjun langsung ke masyarakat. Ada baiknya beliau sempatkan diri naik angkot atau kapal motor kecil di pelabuhan. (Note: saat ini banyak kapal motor menggunakan BBM jenis bensin dan bukan solar). Justru saat ini mereka sangat membutuhkan sarana transportasi ini. Rakyat kecil atau wong cilik memang tak membeli bensin, tapi mereka membutuhkan sarana angkutan yang menggunakan BBM.
Jika ada kenaikan harga BBM subsidi tentu tarif angkutan naik. Kalau tarif angkutan naik, tentu akan diprotes, Apalagi selama ini Pemerintah sangat minim melakukan perbaikan sistem transportasi. So, jelas Pak?
Mudah-mudahan Pak Jeka masih membaca Kompasiana dan tulisan saya ini, karena menjelang Pilpres 2009 lalu, beliau sangat intens menulis. Saya akui memang, sejak menjadi Ketua Umum PMI, beliau mulai nyaris tak terdengar…
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H