Mohon tunggu...
Jackson Kumaat
Jackson Kumaat Mohon Tunggu... -

"Politisi muda yang selalu berharap adanya perbaikan hidup bangsa dan negara yang lebih baik dan benar melalui tulisan-tulisan, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang disegani dan negara yang dihormati"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sudahkah Anda Menonton Film ‘Soegija’?

15 Juni 2012   08:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:57 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Soegija"][/caption]

Kenapa saya menganggap penting film ini untuk ditonton? Jawabannya simpel. Film Soegija dapat menumbuhkan benih-benih cinta kasih antar sesama, sekaligus mengikis prilaku intoleransi di masyarakat.

Film ini ingin melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaaan bangsa Indonesia, pada tahun 1940-1949. Kisahnya dimulai ketika Soegija (diperankan Nirwan Dewanto) diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia. Dalam pikiran dan hatinya berucap, kemanusiaan itu adalah satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya.

Film ini menjadi tontonan menarik karena berlatar perang pada era penjajahan Jepang di Indonesia. Sewaktu Jepang datang ke Indonesia (1942), Mariyem (diperankan Annisa Hertami) terpisah dari Maryono (oleh Abe), kakaknya. Ling Ling (oleh Andrea Reva) terpisah dari ibunya (oleh Olga Lydia). Uniknya, keterpisahan itu tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjajah, tetapi juga oleh para penjajah. Nobuzuki (oleh Suzuki), seorang tentara Jepang dan penganut Budhist, ia tidak pernah tega terhadap anak-anak, karena ia juga punya anak di Jepang.

Menurut saya, Soegija [baca: Sugiyo] ingin menyatukan kembali kisah-kisah cinta keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan kematian. Film ini mengandung pelajaran berharga karena mengajarkan tentang perjuangan dan cinta kasih yang mulai memudar di era teknologi dan konsumtif.

Film ini juga menunjukan bahwa Indonesia adalah bangsa yang ajaib meski memiliki berbagai macam budaya, suku dan agama. Dengan munculnya film ini, semoga walaupun kita berbeda, tapi tetap saling menghormati dan menjunjung pluralisme.

Di Sulawesi Utara sendiri, plularisme bukanlah hal baru. Warga dengan berbagai latar belakang agama, bisa hidup rukun dan damai. Di salah satu bioskop di Manado, antrian calon penonton cukup panjang. Bagi saya, ini bukan berarti warga Manado penasaran dengan pluralisme. Sebagian besar penonton termasuk saya, umumnya penasaran dengan jalan cerita film ini. Syukur-syukur, aksi menonton ini merupakan penhargaan bagi karya seni anak bangsa. Jika bukan kita yang menonton film negeri sendiri yang berkualitas, lalu siapa lagi?

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on :

| My Blog | Kompasiana | Website | Facebook | Twitter | Posterous | Company| Politics |

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun