[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Maket proyek MRT Dukuh Atas - Lebak Bulus (KOMPAS)"][/caption]
BANG KUMIS, Sang Komandan Ibukota Negeri ini tampaknya optimis dengan proyek mass rapid transit atau yang lebih dikenal dengan subway. Baginya, proyek senilai triliunan rupiah ini akan mampu menyaingi kota modern di Singapura dan Jepang.
Bang Kumis pun mengumbar janji, proyek MRT akan segera terealisasi pada 2016, apalagi Pemprov DKI bersama PT MRT Jakarta kabarnya sedang giat untuk mewujudkannya. Kabar baiknya adalah Perusahaan Jepang, Marubeni, menyatakan kesiapannya untuk menjadi investor dalam proyek MRT. Selagi jalan-jalan Jakarta masih dirundung macet, kini kita harus bersabar, karena Marubeni masih harus menjalani proses tender dokumen MRT tahun ini.
Tapi tunggu dulu. Benarkah MRT mampu mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya? Saya sih masih ragu, tapi ada nada optimis dari koar-koar Bang Kumis itu.
Pertama, geografis Jakarta tidak seperti Singapura dan kota-kota di Jepang. Kondisi alam Jakarta yang sudah ditumbuhi oleh gedung-gedung pencakar langit tentunya akan jadi masalah tersendiri dalam merealisasikan lintasan MRT. Belum lagi ada masalah pemukiman kumuh atau tanah yang bersengketa. Tentunya, proyek MRT ini membutuhkan eksekutor sekuat Presiden agar dapat terealisasi secara adil dan manusiawi. Jika harus ada penggusuran, harus dilakukan secara bijaksana dan bukan sekedar ganti rugi.
Kedua, proyek MRT masih dipengaruhi oleh trauma proyek monorel yang kini menyisakan bangkai-bangkai tiang beton. Masih banyak publik yang meragukan proyek ini, apalagi jika belum ada kejelasan soal anggaran proyek. Jika proyek MRT ini gagal seperti monorel di jaman Bang Yos, mau dibawa kemana muka Bang Kumis?
Ketiga, sistem MRT harus mampu menjawab keluhan layanan transportasi massal sebelumnya, seperti bis kota dan busway. Sudah jadi rahasia umum, bahwa jumlah busway masih minim di jam-jam sibuk pulang-pergi kantor. Sedangkan di sarana angkutan bis kota, belum ada kepastian rasa aman dan nyaman selama perjalanan penumpang.
Keempat, stasiun-stasiun MRT di pinggiran Jakarta harus menyediakan sarana parkir yang memadai. Ini dilakukan untuk merangsang pemilik mobil dan motor di Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok agar memanfaatkan MRT. Jika 80 persen pemilik mobil dan motor di sekitar Jakarta menggunakan MRT, maka setidaknya dapat menjawab masalah kemacetan ibukota.
Kelima, saya sangat setuju jika Pemerintah mengenakan pajak yang tinggi bagi pemilik kendaraan, asalkan dananya ditujukan untuk pelayanan MRT yang lebih baik. Jepang berhasil di proyek MRT, karena pajak kendaraan yang nilainya ‘gila’, sehingga warga Jepang enggan membeli kendaraan. Jepang juga mengenakan tariff parkir yang mahal di dalam kota.
Keenam, MRT harus mendukung program lingkungan. Dengan MRT, pengelola gedung harus menanam banyak pohon dan sarana penunjang bagi pejalan kaki. Contoh di Singapura, calon penumpang dilarang merokok. Ini bertujuan agar udara menjadi bersih dan warga menjadi sehat.
Ketujuh, pemimpin di negeri ini yang kebanyakan berdomisili di Jakarta harus memberi contoh yang baik. Mereka harus menjadi penumpang MRT, dan tak lagi menggunakan mobil dinas. Ada baiknya, Presiden dan para menteri setiap akhir pekan pulang kampong menggunakan MRT. Ini akan menjadi cara menghemat anggaran negara.
Dan kedelapan, MRT bukan satu-satunya solusi mengatasi kemacetan ibukota. Suksesnya proyek ini bisa menjadi pisau bermata dua, yakni makin banyaknya warga daerah yang berbondong-bondong mengadu nasib ke Jakarta. So, after MRT, what’s up, Mr Governor ?
Semoga nasib MRT ini bisa menjawab tantangan Jakarta di masa depan.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H