[caption id="attachment_137744" align="aligncenter" width="680" caption="Salah satu sudut Suasana New York, Amerika Serikat ketika mobil kenegaraan melintas (Foto: Anastasia Joice Tauris Santi/KOMPAS)"][/caption]
SEBUAH kabar tak sedap tersiar dari New York Amerika Serikat (AS). Sejumlah oknum diplomat Indonesia menerima tagihan denda sebesar 750 ribu dollar AS atau sekitar Rp 6,8 miliar. Mereka didenda oleh pemerintah kota New York karena melanggar ketentuan perparkiran. Kok bisa, ya?
Menurut Departemen Keuangan Pemerintah Kota New York (NYC), tiket parkir yang belum dibayar hingga Juli lalu ada sekitar 16,7 juta dollar AS. Utang tiket parkir diplomat asing asal Mesir berada di urutan pertama, yakni 1,9 juta dollar AS, lalu Nigeria satu juta dollar AS, dan Indonesia berada di urutan ketiga. Sebelumnya, Anggota Kongres AS Michael Grimm, Peter King, dan Edolphus Towns, sudah memperkenalkan sebuah undang-undang terkait utang dan denda parkir itu pada Mei lalu. Merujuk pada UU itu, sanksi berat akan diberikan kepada para diplomat yang telah abai membayar biaya tiket parkir, berikut denda atas pelanggaran area parkir, kepada otoritas NYC.
Beredar kabar, ‘utang’ Indonesia kepada NYC diperkirakan telah membengkak, apalagi para diplomat sepekan terakhir ini mengikuti sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Memang, media di Tanah Air cukup gencar memberitakan dukungan Indonesia terhadap Palestina sebagai negara anggota baru di PBB. Tapi, kebijakan Negara yang disampaikan Menlu Marty Natalegawa di hadapan sidang PBB itu, tampaknya langsung lenyap setelah kabar denda parkir yang memilukan.
Yang saya tahu, sistem pelayanan publik di NYC selama ini, dilaksanakan secara ketat dan tanpa pandang bulu. Kondisinya berbeda dengan di Jakarta, yang belum memiliki sistem perparkiran secara terpadu. Di New York dan Washington DC misalnya, pemilik kendaraan dilarang keras memarkir kendaraannya di dekat pompa pemadam kebakaran. Padahal, NYC yang menjadi tuan rumah bagi sekitar 289 utusan, diplomat, dan konsul asing selama sidang PBB digelar pekan lalu, telah menyiapkan area parkir secara khusus bagi para diplomat. Inilah uniknya NYC. Mereka tidak melakukan perlakuan khusus seperti ’kekebalan diplomatik’ yang selama ini banyak diterapkan di Indonesia.
Baru-baru ini, Perwakilan Tetap Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Hasan Kleib mengklarifikasi, bahwa utang denda parkir sebenarnya tidak mencapai Rp 6,8 miliar. Masalah denda parkir ini merupakan masalah lama, sejak tahun 1970-an. Sebanyak 729.000 dollar AS di antaranya telah dilunasi secara perorangan. Dengan demikian, jumlah tunggakan hanya mencapai 21.000 dollar AS atau hampir Rp 200 juta.
Entahlah angka mana yang benar, Rp 6,8 miliar atau Rp 200 juta. Yang jelas, denda parkir (oknum) diplomat ini sangat memalukan, karena menjadi indikator buruknya tingkat disiplin berlalu-lintas. Jika utang denda parkir Indonesia saat ini cuma Rp 200 juta, tapi tentunya total denda parkir yang pernah mencapai Rp 6,8 miliar itu, bukanlah angka yang kecil.
Menurut saya, seandainya dana senilai Rp 6,8 miliar tersebut dialihkan untuk kepentingan dalam negeri, tentunya akan lebih bermanfaat bagi banyak orang. Misalnya, saat ini ribuan petani kesulitan air untuk lahan pertanian dan perkebunannya karena ketidak-sediaan alat pompa air. Jika harga pompa air sebesar Rp 1 juta, maka nilai denda parkir itu bisa dibelanjakan pompa air untuk 6.800 petani yang membutuhkan.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Uang Rp 6,8 miliar terbuang percuma karena kelalaian berkendara. Denda parkir senilai Rp 6,8 miliar itu adalah nilai kerugian terbesar akibat perilaku buruk berkendara. Sudah saatnya, para diplomat senior di Kemenlu RI dan Mabes Polri melakukan penyeleksian secara ketat, terhadap para diplomat yang akan memiliki surat izin mengemudi (SIM) internasional. Penerbitan SIM internasional tentunya berbeda dengan SIM umum di Indonesia, karena setiap Negara memiliki aturan lalu-lintas yang berbeda-beda.
Dan sebuah saran kecil untuk kalangan diplomat Indonesia yang bertugas di AS, sebaiknya menggunakan MRT atau taksi dalam aktivitas sehari-hari atau event penting di kantor PBB. Sarana transportasi ini terbukti aman dan murah, dibandingkan mobil corps diplomatic yang biaya operasionalnya cukup mahal. Dengan sarana transportasi tersebut, para diplomat tak perlu pusing-pusing mencari tempat parkir yang semestinya akibat terlambat tiba.
AS memiliki tradisi on time, sehingga tak boleh terlambat menghadiri sebuah janji. Jika terlambat, niscaya hanya trotoar yang ada pompa pemadam kebakaran yang tersisa. Jika Anda memarkir kendaraan di lokasi tersebut, siap-siap saja didenda oleh polisi yang tak kenal suap.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on : Kompasiana | Facebook | Twitter | Blog | Posterous | Company | Politics
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H