Mohon tunggu...
Jackson Kumaat
Jackson Kumaat Mohon Tunggu... -

"Politisi muda yang selalu berharap adanya perbaikan hidup bangsa dan negara yang lebih baik dan benar melalui tulisan-tulisan, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang disegani dan negara yang dihormati"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korupsi Merenggut Kemerdekaan RI

16 Agustus 2011   08:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="579" caption="Soekarno (foto: google)"][/caption] Besok, 17 Agustus 2011, kemerdekaan RI genap 66 tahun. Di saat yang sama, 66 tahun yang lalu, pekik kemerdekaan dikundangkan warga Muslim yang tengah menunaikan ibadah puasa. Lantas, apa perbedaan nuansa Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan HUT RI tahun ini?

Korupsi! Indonesia hingga kini masih dijajah oleh kaum imperialis yang mengenakan ‘jubah’ koruptor. Mereka inilah yang merusak sistem pemerintahan, sehingga negara belum mampu melunasi janji-janji para pendiri bangsa ini. Saya meminjam istilah ‘janji kemerdekaan’ ini, seperti yang ditulis oleh Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan di Harian Kompas halaman 6, pada hari Senin 15 Agustus 2011.

Saya sependapat, bahwa ‘janji kemerdekaan’ itu hingga kini belum terbayar lunas oleh pemerintah. Meski telah melewati tiga masa pemerintahan, namun pemerintah belum mampu melunasi janjinya, untuk memerdekakan seluruh rakyat Indonesia.

Apa saja janji itu? Janji itu adalah memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tapi sayangnya, upaya menyejahterakan rakyat bukan pekerjaan mudah. Ada saja hambatannya, baik di sistem pemerintahan maupun oknum aparatur pemerintahannya sendiri.

Bagi saya, penyebab utama gagalnya pemerintah memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Walaupun istilah KKN kini lebih disederhanakan menjadi ‘korupsi’, tapi bukan berarti kasus-kasus kolusi seperti ‘main mata’ pada lelang proyek dianggap bukan korupsi. ‘Main mata’ atau istilah apapun yang intinya kolusi, sama saja dengan korupsi. Dan kita harus sepakat, korupsi adalah musuh bersama.

Sejak zaman Orde Baru, saya merasakan betapa sedihnya menjadi rakyat kecil. Beruntung, dengan kekuatan mahasiswa di era 1998, orde baru akhirnya runtuh. Di era Reformasi ini, bukan berarti korupsi sudah dipastikan lenyap oleh kinerja aparat penegak hukum, seperti KPK.

Pemberantasan korupsi harus dikawal. Jangan biarkan mafia-mafia berbulu domba merayu aparat. Para penggoda di sekitar aparat penegak hukum juga harus ditindak. Pepatah orang tua bilang, “tak mungkin menyapu dengan sapu yang kotor”. Maka, sapu ini harus dibersihkan!

Jika di KPK ada oknum yang kotor, ya segera bersihkan! Demikian juga di lembaga peradilan, kepolisian, kejaksaan hingga Mahkamah Agung. Lembaga-lembaga ini harus bersih dari orang-orang korup.

Akibat korupsi, negeri ini sangat sulit maju. Korupsi telah menciptakan jurang pemisah antara kejujuran dan kemunafikan. Dan masyarakat luas menjadi korbannya. Yang korup semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.

Kini, masih banyak anak di pelosok negeri ini, yang tak dapat mengikuti pendidikan karena tak ada biaya atau terpaksa membantu mencari nafkah orang tua. Masih banyak pengangguran yang kesulitan mendapat pekerjaan. Atau, masih banyak orang tua yang pasrah menanti ajal di tempat tidur, karena tak mampu berobat di rumah sakit.

Masih ada lagi, aksi kriminal di jalan semakin meningkat karena pelakunya tertekan oleh tingginya biaya kehidupan. Di kota-kota besar, warga semakin stress di jalan raya yang macet karena pemerintah lamban menjawab kebutuhan transportasi publik. Di desa-desa, warga miskin semakin tersisih karena kehadiran orang-orang tamak yang dilindungi penguasa.

Apakah saya harus membuktikan kisah tersebut ke pemerintah bahwa ini adalah fakta? Apakah pemerintah sudah buta tak membaca koran kuning dan tayangan berita kriminal di televisi? Atau, haruskah ada aparat pemerintah yang menjadi korban fenomena social ini, kemudian barulah sadar dan turun tangan?

Tidak!

Pemerintah harus terus diingatkan oleh publik. Kita, warga Kompasianer dan anggota social media harus terus ‘menjewer’ pemerintah, agar segera melunasi janjinya ke rakyat. Janji ini adalah utang. Dan utang harus dibayar.

Proklamasi,

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 1945

Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on : Kompasiana | Facebook | Twitter | Blog | Posterous | Company | Politics

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun