[caption id="attachment_138463" align="aligncenter" width="680" caption="ilustrasi bom (Kompas)"][/caption]
TEROR bom selama ini menjadi momok menakutkan di Tanah Air. Bom yang meledak dalam 10 tahun terakhir pasca reformasi, tak hanya terjadi di daerah rawan konflik, tapi juga di daerah yang selama ini aman dan damai. Bagaimana dengan negara tetangga?
Tampaknya, para teroris enggan meledakkan bom di Malaysia dan Singapura. Jangankan meledakkan bom atau meledakkan diri dengan rompi bom, aksi teror bom melalui telepon atau pesan singkat SMS gelap, pun nyaris tak terdengar di Negara tetangga kita.
Sepertinya, karakter radikalisme yang terjadi di negara kita, hanya mirip dengan kondisi di Filipina. Hingga kini, pemerintah Filipina masih berupaya menghadapi ‘separatis’ yang berada di kepulauan bagian selatan, yakni Mindanau. Meski demikian, daerah rawan konflik Mindanau di Filipina tentunya berbeda dengan wilayah konflik di Indonesia, seperti di Aceh, Ambon dan Poso.
Nah sayangnya, kondisi di daerah yang aman dari konflik di Indonesia saat ini, selalu menjadi target aksi terorisme. Di tulisan saya sebelumnya, ledakan bom terjadi di lokasi yang sistem keamanannya (seharusnya) terjamin, seperti di bandara, sentra ekonomi, keduataan besar, hotel mewah dan tempat-tempat hiburan. Tempat beribadah yang menjadi sasaran teror bisa jadi tak ada hubungannya dengan bom-bom sebelumnya. Tapi, kesamaan dari lokasi ledakan itu adalah sebuah pesan untuk menebar rasa takut di masyarakat.
Lantas apa kunci keberhasilan Singapura dan Malaysia dalam menangani aksi-aksi terorisme? Saya berasumsi, kedua Negara itu memiliki sistem hukum dan aparatur yang kuat. Warga di negeri serumpun itu pun bisa hidup berdampingan dengan damai. Konflik tetap ada, tapi bisa diselesaikan secara hukum. Jangankan ledakan bom, mengirimkam SMS saja mereka enggan, apalagi menjadi pelaku bom bunuh diri.
Salah satu ‘rahasia’ Singapura dan Malaysia mampu mengatasi terorisme adalah adanya Undang Undang Anti-Terorisme bernama Internal Security Act (ISA). UU ini memang sangat keras dan bisa dianggap sebagai sumber pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dengan UU tersebut, para teroris tampaknya tak betah berlama-lama tinggal menetap di Singapura dan Malaysia. Lihat saja Dr Azahari yang berkewarga-negaraan Malaysia, malah akhirnya menjadikan Indonesia sebagai target serangan.
Indonesia adalah negara yang lemah secara hukum. Berita pencuri sandal jepit yang dihakimi massa dan remisi para koruptor sudah menjadi bahan tertawaan publik Singapura dan Malaysia. Mereka bukan menertawai pencuri atau koruptor, tapi menertawai lemahnya sistem hukum yang berlaku saat ini.
Sudah saatnya pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat duduk bersama-sama membahas keamanan negara. Aparat yang terampil dan aeralatan canggih apapun belum tentu berhasil, jika Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki celah-celah yang mudah disusupi, apalagi berdalih pelanggaran HAM. Buka berarti saya anti-HAM, tapi jika pelaku tak berhasil ditangkap dan terjadi ledakan bom lagi, siapa yang mau bertanggung jawab? Setiap ada ledakan bom, selalu saja Pak Beye cuma mengutuk dalam pidatonya.
Saya cuma bisa berharap, kalangan Anggota Dewan di Senayan, jangan menutup mata atau lamban menuntaskan UU Anti-Terorisme ini. Apalah harus menunggu keluarga saya atau Anda menjadi korban, barulah teriak-teriak soal UU Anti-Terorisme? Atau, kita membahas UU Anti-Terorisme ini, ketika anggota keluarga kita menjadi ‘pengantin’ yang mengantarkan bom bunuh diri?
Saya setuju dengan reaksi Pengurus Besar Nadlatul Ulama, yang menilai upaya pemberantasan terorisme di Indonesia harus dipayungi oleh peraturan yang bersifat tegas. Berbagai tindak kekerasan agama yang sering dilakukan oleh teroris merupakan kejahatan yang tidak bisa diampuni dari sisi manapun dan dapat merusak kesucian agama itu sendiri.
Menurut saya, dengan adanya sistem hukum dan aparat yang kuat, maka akan mampu menekan gerak aksi-terorisme. Negara yang aman, tentunya akan meningkatkan roda perekonomian dan keluarga sejahtera. Sebaliknya demikian, jika negara tak aman maka tak mustahil konflik terus berkelanjutan sehingga investor akan lari meninggalkan Tanah Air.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on : Kompasiana | Facebook | Twitter | Blog | Posterous | Company | Politics
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H