Mohon tunggu...
Jackson Kumaat
Jackson Kumaat Mohon Tunggu... -

"Politisi muda yang selalu berharap adanya perbaikan hidup bangsa dan negara yang lebih baik dan benar melalui tulisan-tulisan, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang disegani dan negara yang dihormati"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menghukum (atau Membebaskan) Koruptor

12 Oktober 2011   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:03 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Wali Kota Bekasi, Mochtar Muhammad, langsung ditahan usai diperiksa penyidik KPK, di kantor KPK, Jakarta Selatan, Senin (13/12/2010). (Foto:HERUDIN/TRIBUNNEWS.COM)"][/caption]

Bebasnya Mochtar Muhammad, walikota Bekasi non-aktif yang menjadi terdakwa kasus korupsi, menjadi obrolan menarik pagi ini. Rencananya, saya mau menulis tentang kekalahan Indonesia dari Qatar tadi malam di stadion Gelora Bung Karno. Tapi bagi saya, senyum narsis pendukung Pak Mochtar di PN Tipikor Bandung lebih greget, ketimbang wajah tertunduk lesu Bambang Pamungkas dkk usai menelan pil pahit menghadapi Qatar.

Satu hal yang mengganjal di pikiran saya adalah alasan Majelis Hakim membebaskan Pak Mochtar. Padahal, di selama persidangan telah hadir 43 orang saksi dan 320 alat bukti. Lantas, kenapa saksi dan bukti-bukti dugaan keterlibatan Pak Mochtar ‘diabaikan’ hakim? Atau, apakah ini tanda lemahnya kinerja KPK dalam mengusut kasus korupsi sebelum dilimpahkan ke pengadilan?

Ternyata, bebasnya Mochtar bukanlah hal pertama dalam sejarah pemberantasan kasus korupsi di Tanah Air. Menurut catatan Kompas, dua kepala daerah sebelumnya juga dibebaskan dari dakwaan korupsi, yakni Bupati Subang Eep Hidayat dan Wakil Wali Kota Bogor Ahmad Ruhiyat. Artinya, ketiga terpidana korupsi bebas di PN Tipikor Bandung!

Dalam putusannya, hakim berpendapat bahwa Mochtar tidak terbukti mengadakan kegiatan fiktif, penyuapan kepada anggota DPRD untuk memuluskan pengesahan APBD, suap Rp 300 juta untuk tim Adipura, dan suap kepada anggota BPK perwakilan Jawa Barat sebesar Rp 400 juta.

Kasus yang menimpa Pak Mochtar sebenarnya kasus ‘kecil’, yakni kasus korupsi yang jumlah per item-nya dibawah Rp 1 miliar. Tapi, karena ada beberapa kasus suap yang dituduhkan, maka jika dijumlah secara cukup besar. Mochtar didakwa melakukan empat perkara korupsi, yakni memberikan suap untuk pemenangan Adipura Kota Bekasi, penyalahgunaan APBD Kota Bekasi, suap kepada BPK, dan penyalahgunaan anggaran makan minum sehingga menimbulkan kerugian negara Rp 5,5 miliar.

Mungkin tak banyak yang tahu, sepekan sebelumnya, anak buah Pak Mochtar bernama Agus Sofyan, ditahan sebagai tersangka korupsi di Rumah Tahanan Negara Bulak Kapal, Kota Bekasi. Staf Ahli Wali Kota Bekasi Bidang Pembangunan itu dipenjara terkait kepentingan penyusunan dakwaan Pak Mochtar dan mencegah tersangka melarikan diri.

Entah apa peran Agus Sofyan. Apakah terkait dalam kasus Mochtar di Pengadilan Tipikor di Bandung, atau dalam kasus korupsi yang berbeda. Apakah Agus merupakan tangan kanan Mochtar, saya juga tak tahu. Bisa jadi Agus dikorbankan. Tapi entahlah, saya tak mau berandai-andai. Mungkin, dalam persidangan Agus mendatang baru terungkap apa keterlibatannya.

KPK tampaknya tak mau kelihatan malu di depan publik. Wakil Ketua KPK M Jasin mengaku akan mengajukan kasasi atas putusan tersebut. KPK juga meminta Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim Tindak Pidana Korupsi Bandung yang memutus bebas tiga kepala daerah di Jawa Barat yang didakwa melakukan korupsi.

Nah, persoalannya adalah bagaimana jika ternyata para hakim di Pengadilan Tipikor sudah melaksanakan amanat tugasnya dengan benar, sedangkan kesalahan sesungguhnya terletak pada lemahnya alat bukti dan saksi. Dan, bad news-nya adalah jika sebenarnya Mochtar tidak bersalah sama sekali kemudian menjadi korban politik.

Sekali lagi, kredibelitas KPK diuji. KPK dan aparat penegak hukum lainnya harus lebih bekerja giat. Aparat sama seperti profesi pekerjaan. Pak pos tugasnya mengirim surat, jurnalis tugasnya mencari berita, dokter tugasnya menyembuhkan sebanyak-banyaknya pasien, sedangkan aparat penegak hukum ya harus menangkap penjahat sebanyak-banyaknya. Kalau tak bisa menangkap dan memenjarakan penjahat atau koruptor sebanyak-banyaknya, ya sebaiknya jangan jadi aparat!

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on : Kompasiana | Facebook | Twitter | Blog | Posterous | Company | Politics

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun