[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) didampingi Ibu Ani Yudhoyono dan Menteri Agama Suryadharma Ali saat menghadiri Peringatan Hari Lahir ke-85 Nahdlatul Ulama di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (17/7/2011). Foto: KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES"][/caption]
Hari Minggu siang kemarin (17/7/2011) saya mendapat undangan khusus untuk menghadiri acara peringatan hari lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama (NU) di Gelora Bung Karno, Jakarta. Sebenarnya, saya sudah menjadwalkan untuk menghadiri acara tersebut, tetapi karena bertepatan dengan kegiatan ibadah ke gereja dan memimpin sebuah tim kemanusiaan untuk membantu korban letusan Gunung Lokon di Sulawesi Utara, saya terpaksa mengurungkan niat ke Senayan.
Beruntung, saya sempat menyaksikan siaran langsung Harla NU yang disiarkan di Metro TV. Di situs Kompas.com diberitakan, acara ini turut dihadiri para tokoh negara, seperti Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Syaifuddin, Ketua DPD RI Irman Gusman, Menteri Agama Suryadharma Alie, Menteri Pendidikan M Nuh, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Selain itu, turut hadir mantan Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla, Direktur Eksekutif Wahid Institute Yenny Wahid, dan beberapa anggota Parlemen, seperti Lily Wahid.
Meski tak hadir di acara tersebut, saya ingin memberi apresiasi tinggi untuk kalangan Nahdliyin. Dalam sejarahnya, NU berperan aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. NU juga memiliki komitmen kuat dalam memelihara demokrasi dan perdamaian bangsa, bahkan menolak segala bentuk aksi kekerasan.
Pada peringatan kali ini, Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj menyebut komitmen NU dalam menjaga empat pilar demokrasi, yaitu Negara Kesatuan RI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. ”Ada atau tidak ada terorisme, ada radikalisme atau tidak, bom meledak atau tidak, bagi NU, NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945, adalah final," kata Said.
Pernyataan Pak Said itu membuat saya tersenyum bangga. Betapa tidak? Meski banyak kasus-kasus teror mewarnai citra buruk Islam, tapi NU tetap berdiri tegak. Dalam konteks ini, NU tidak memilih netral dan rendah diri, tapi memposisikan NU sebagai lembaga independen.
Jauh beberapa tahun lalu sebelum reformasi 1998, saya masih kuliah dan menghadiri sebuah diskusi di Jakarta yang membahas pluralisme yang dihadiri sejumlah tokoh agama, di antara Pak Said. Kala itu, media massa ramai membahas kasus pembakaran gereja di beberapa kota, termasuk di Surabaya. Waktu itu saya belum mengenal secara pribadi Pak Said, tapi saya berbicara meski di forum tersebut mayoritas pesertanya beragama Islam.
”Pak Kyai, saat ini marak pembakaran gereja dan belum ada tindakan serius dari pemerintah. Bagaimana seharusnya umat beragama menyikapi hal ini?” begitu salah satu pernyataan dan pertanyaan saya.
”NU mengutuk aksi-pembakar gereja. Haram hukumnya dalam Islam membakar gereja,” begitu tegas Pak Said.
Mungkin di situlah titik 0 (nol) saya menyukai ormas terbesar ini. Awalnya saya pikir, NU melalui Pak Said hanya menjawab pernyataan normatif. Ternyata, NU memiliki sikap independen sebagai ormas yang layak didukung semua pihak, termasuk saya, seorang penganut Kristen.
Bagian terbesar dalam pergerakan atau sejarah NU yang terkenal di negeri ini adalah sikap toleransi dan pluaralisme. Dalam banyak kasus, seperti diskriminasi etnis Tionghoa dan kelompok Ahmadiyah, saya melihat NU memposisikan diri sebagai pihak yang mampu menjadi ‘jembatan’ antara pro dan kontra.
Menurut Wikipedia, basis pendukung atau warga NU terdiri dari anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai partai politik yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKB, PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP.
Dan kini pun saya bingung, apakah ada orang Kristen boleh menjadi pendukung NU? Pertanyaan ini sebenarnya mau saya lontarkan hari Minggu kemarin. Sayangnya, saya berhalangan. Jika Mendiang Gus Dur masih ada, mungkin langsung dijawab, ”Gitu aja kok repot! Sampeyan dukung (menggotong) saya mampu, nggak?” Oala, Gus….
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H