[caption id="attachment_87238" align="aligncenter" width="480" caption="Bagi saya, foto ini bukanlah kawanan Bangsa Barbar yang ada di Jakarta. Ini adalah fakta sosial di masyarakat yang harus dipahami dan dicari solusi bersama."][/caption]
Komplain lagi soal jalan ibukota macet? Bingung cari jalan tikus? Atau marah karena keluhan tak direspon pemerintah? ”Gitu aja kok repot….” mungkin begitu celoteh Alm Gus Dur jika masih ada.
Saat membaca tulisan Kompasianer Choirul Huda berjudul Sore Hari, Jakarta Dihuni Bangsa Barbar. Saat menyaksikan Jakarta pada waktu sore hari, ia benar-benar merasa aneh. Ditengah hiruk pikuk Ibukota yang sumpek ini, ternyata sangatlah jauh dari kata lancar. Hampir setiap jalan utama Ibukota yang selalu dipenuhi antrean kendaraan baik itu motor, mobil, bus, truk serta lalu lalang angkot dan sejenisnya. Aneh bagi Choirul, tapi tidak aneh bagi saya.
Saya pun jadi ingat bagaimana saya harus berjuang mati-matian untuk menghadiri ibadah Natal 2010, karena terjebak banjir dan macet di kawasan Warung Buncit Jakarta Selatan. Di situasi demikian, biasayan emosi pengendara sulit untuk dikendalikan.
Hampir seluruh arus lalu lintas sejumlah jalan protokol di Jakarta benar-benar semrawut di tengah kepungan genangan air. Tak ada petugas polisi yang mengatur, tak ada pula jalan tikus kosong. Aksi para pengendara yang tidak sabar dan saling serobot semakin memperparah arus lalin di segala arah.
Jadi, siap-siap saja kita jadi korban. Ya disenggol pengendara sepeda motor, diseruduk mobil dari belakang karena tak sigap menginjak pedal rem, atau bahkan mobil mogok karena terendam banjir. Di tengah macet pula!
Saya pun pernah mengalami kerugian imateril yang tak ternilai, yakni saya harus membatalkan janji dengan rekan bisnis yang sudah menunggu kedatangan saya. Apalagi, bagi kalangan investor asing, momentum pertemuan yang on time sangat menentukan deal atau tidaknya sebuah langkah awal kontrak bisnis. Jika saya mengeluh ke forum Kompasiana, apakah Pemerintah akan membayar ganti rugi?
"Emang gue pikirin," pasti begitu kata pejabat pemerintah yang baca tulisan ini.
Saat ini, Pemerintah DKI Jakarta sudah mempersiapkan sarana infrastruktur tambahan, sebagai salah satu solusi mengatasi masalah lalu-lintas. Mungkin kebijakan yang dilakukan Gubernur Fauzi Bowo itu kurang populer, karena sedang berlangsung di tengah cibiran masyarakat. Kalaupun nantinya sejumlah ruas tambahan ibukota telah berfungsi, barulah kita para pemakai jalan tahu dan merasa arus lalu lintas lebih lancar.
Namun demikian, hal itu bukan solusi pemecahan masalah. Pemerintah dan instansi terkait harus mampu dan konsisten menjalankan kebijakannya. Jika kebijakan tak dilakukan sepenuh hati dan tak konsisten dijalankan, maka masalah baru akan muncul. Akibatnya, kebijakan tersebut hanya sia-sia belaka.
Bagi saya, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, peduli atau tidak peduli, tapi inilah fakta yang ada di negeri ini. Kemacetan dan kesemrautan lalu lintas bukan sebatas masalah yang dihadapi pemerintah, tapi itu adalah fenomena yang ada di masyarakat.
Saya lebih senang dengan sindiran carut-marut sistem transportasi negeri ini oleh Kompasianer Titin Septiana di tulisan berjudul ”Indonesia Ternyata Lebih Efisien Waktu daripada Jepang”. Di tulisan itu Titin mengungkapkan isi hati seorang warga Indonesia di Jepang, yang rindu atas kesemrautan lalu lintas di Jakarta.
Lantas, masih perlukah kita mengeluh? Jika 10 juta penduduk Jakarta mengeluh ke Bang Kumis, lantas Bang Kumis mau mengeluh ke siapa? Kepada Pak Beye? Jangan-jangan Bang Kumis pun takut kejebak macet jika mau berkeluh kesah ke Pak Beye.
Salam Kompasiana!
[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ini adalah foto Jalan Gatot Subroto di sekitar kawasan Pancoran, Jakarta Selatan yang macet parah usai hujan deras turun 25 Oktober 2010. Foto: Yuniadhi Agung/KOMPAS"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H