[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="BNP2TKI"][/caption]
SAYA merasa heran dengan usulan penghentian pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, meski hanya sementara waktu. Apa jadinya ribuan TKI yang sudah antre berangkat ke luar negeri, harus menundanya? Dan bagaimana dengan jutaan TKI di luar negeri, jika harus dipaksa pulang ke Tanah Air?
Yang jelas, usulan yang didukung pula oleh Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum itu, tak masuk akal dan di luar logika. Bagi saya, kasus penganiayaan Sumiati di Arab Saudi tidak ada hubungannya dengan pembenahan sistem dan perlindungan TKI. Pengusutan hukum tetap jalan terus, dan penempatan TKI di luar negeri juga tak boleh berhenti.
Negeri ini masih berkutat dengan masalah pengangguran dan kemiskinan. So, sudah selayaknya memikirkan program jangka panjang untuk mengatasi penempatan angkatan kerja.
Data kepulangan TKI bermasalah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menunjukkan, 48 persen dari 45.626 TKI bermasalah yang pulang lewat Bandara Soekarno-Hatta, Banten, tahun 2008 berasal dari Arab Saudi. Sementara setiap bulan sekitar 17.000 TKI berangkat ke Arab Saudi.
Saya sepakat, untuk mencegah berulangnya tragedi kemanusiaan terhadap tenaga kerja Indonesia, khususnya pembantu rumah tangga migran di Arab Saudi seperti yang menimpa Sumiati, pemerintah harus membenahi sistem perlindungan terhadap TKI di Arab Saudi.
Tapi saya tak sepakat pernyataan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, bahwa TKI tidak harus tinggal di rumah majikan selama 24 jam melainkan hanya pada jam bekerja. Selebihnya, mereka ditempatkan di asrama atau mess khusus. Lha, di Indonesia saja pembantu rumah tangga (PRT) itu tinggal serumah dengan majikan. Kok malah mau bikin aturan aneh?
Saya curiga, jangan-jangan memang benar TKW terutama yang bekerja sebagai PRT di luar negeri, tidak dibekali keahlian khusus terutama kemampuan berbahasa asing di negera tujuan. Ini kan repot! Miss-komunikasi inilah yang konon menyebabkan sang majikan terutama warga Arab Saudi melakukan tindak kekerasan terhadap PRT asal Indonesia.
Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar TKI PRT dilengkapi dengan telepon genggam, belum tentu mengatasi masalah. Bukannya saya pesimis, tapi menurut saya, persoalan utama adalah sistem yang belum berjalan di sektor penempatan tenaga kerja.
Untuk apa melindungi TKI secara hukum, jika TKI tersebut belum pernah mengenal hukum negara di mana ia ditempatkan? Dan saya pikir, pembenahan internal di Kementerian Tenaga Kerja RI harus segera dilakukan. Bukan saja melindungi TKI di luar negeri, tapi juga melatih seluruh tenega kerja, agar mampu bekerja sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja.
Salam Kompasiana !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H