[caption id="" align="alignleft" width="340" caption="The Distinguished Gentleman"][/caption] SEPANJANG hari ini, saya sangat bergairah. Mungkin, ini lantaran tumben-tumbennya PLN tak memadamkan aliran listrik di rumah. Saya pun menikmati pagi indah tadi menjelang ke kantor dengan menonton film melalui DVD player. Ternyata, sudah lumayan banyak film koleksi saya. Saya jadi bingung memilih film terbaru, karena demikian tertata rapi oleh istri saya. Kebetulan, kami memang memiliki hobi yang sama menonton film, terutama film original. Bukannya karena gengsi, tapi memang benar adanya, bahwa film original membuat awet perangkat DVD player. Dari beberapa film terbaru, mata saya justru terpaku dengan tumpukan film lama. Entah kenapa, pilihan saya jatuh pada The Distinguished Gentleman, film tahun 1992 yang dibintangi oleh aktor kulit hitam Eddie Murphy. Awalnya saya hanya senyum-senyum sendiri menahan tawa, tapi tawa saya meledak di titik klimaks film itu. Silakan klik ini dan ini, untuk menyaksikan salah satu aksi Eddie Murphy. Namanya film Hollywood, tentulah ada tokoh utama dan pemeran antagonis. Bahkan, situasi akan menjadi menarik jika kedua tokoh berhadapan langsung menjelang akhir skenario. Film ini pun hampir berhasil mengecoh saya, untuk membedakan film fiksi dan non-fiksi. ** Beberapa saat lalu, saya sempat membaca tulisan "Jika Siaran Langsung Ditiadakan KPI" yang ditulis Pak Erfano Nalakiano. Wah, saya jadi terinspirasi kepingin menulis. Terlebih setelah menyaksikan The Distinguished Gentleman. Bagi saya, pro-kontra siaran langsung seharusnya dapat bercermin dari film The Distinguished Gentleman. Saya tak dapat membayangkan, jika sebuah kasus besar atau skandal negara ditutup-tutupi, sehingga publik tak dapat mengetahui informasi yang sebenarnya. Padahal, sudah menjadi tanggung jawab setiap warga negara, termasuk pers, untuk mempublikasikan sebuah kebenaran, meski penuh dengan resiko. Saya sangat setuju dengan opini kalangan pegiat HAM, bahwa larangan menggelar siaran langsung persidangan melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apalagi prinsip hukum di Indonesia berbeda dengan di AS, yang membatasi publikasi pers di arena persidangan. Menurut pasal 153 Ayat (3) KUHAP, untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Jadi sudah jelas, bahwa semua sidang terbuka untuk umum dan bisa mendapatkan liputan media secara langsung kecuali dalam beberapa kasus. *** Akhirnnya, selagi aliran listrik di rumah saya masih menyala, mohon agar pengelola stasiun TV dapat menyiarkan segala sesuatu untuk masyarakat, baik itu informasi maupun hiburan. Soal kekhawatiran dampak buruk bagi anak-anak, biarlah itu menjadi tanggung jawab para orang tua. Justru dengan kehadiran orang tua di depan televisi bersama anak-anak, maka akan terjadi komunikasi harmonis, layaknya keluarga sakinah. Pembatasan siaran langsung persidangan seharusnya bukan ketentuan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena batasannya seharusnya adalah kode etik jurnalistik. Saya yakin, jika siaran langsung tetap dilakukan di televisi dan jika mungkin nantinya di media online, maka tak akan ada lagi kasus hukum yang ditutup-tutupi. [jackson kumaat, yang sedang menikmati kompasiana dengan komputer karena listrik masih menyala] Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H