Mohon tunggu...
Erkata Yandri
Erkata Yandri Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai Manajemen Productivity-Industry dan Energy sebagai Technical Services Specialist dengan menangani berbagai jenis industri di negara ASEAN, termasuk Indonesia dan juga Taiwan. Pernah mendapatkan training manajemen dan efisiensi energi di Amerika Serikat dan beasiswa di bidang energi terbarukan ke universitas di Jerman dan Jepang. Terakhir mengikuti Green Finance Program dari Jerman dan lulus sebagai Green Finance Specialist (GFS) dari RENAC dan juga lulus berbagai training yang diberikan oleh International Energy Agency (IEA). Juga aktif sebagai penulis opini tentang manajemen dan kebijakan energi di beberapa media nasional, juga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya tentang efisiensi energi dan energi terbarukan di berbagai jurnal internasional bereputasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengapa Sumbar (Tidak) Perlu "Visionary Leader"?

26 November 2021   08:51 Diperbarui: 27 November 2021   23:00 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini berawal dari diskusi grup WA teman-teman SMA saya. Kemudian, tantangan diberikan oleh dua orang teman jurnalis itu. Sebenarnya buat artikel seperti judul ini gampang saja bagi mereka. Tetapi, mereka ingin melihat sudut padang yang lain. Saya yang non-jurnalis, dengan background industri dan akademisi. Kalau saya yang level "kapuyuaks" aja sih. Yang ecek-ecek aja. “Cuma itu yang bisa kita berikan saat ini ke Sumbar dari rantau”, begitulah kira-kira bunyi rayuan pulau kelapa. Pendapat Buya Syafii Maarif itu dibenarkannya. Jeweran Buya Maarif dianggapnya seperti sudah “menampar” orang se-Sumbar. Yah, entahlah!

Baiklah, ijinkan saya untuk mulai mendongeng ya!

OK! Mari kita lihat jejak ke belakang dulu. Untuk lebih mudahnya, mungkin cukup kita analisa jejak singkat beberapa gubernur dalam era reformasi ini saja. Kinerja dan gaya manajemen saja. Sesuai kondisi pencapaian yang sudah mereka lakukan dengan dampak yang ditimbulkan secara singkat dan padat. Untuk kinerja, masih bisa dimanfaatkan data yang dikeluarkan oleh BPS. Untuk gaya kepemimpinan bisa dianalisa sedikit dari jejak dijital berita yang ada.

Zainal Bakar adalah seorang birokrat. Ia menjabat Gubernur Sumatera Barat periode 2000 - 2005. Sebelumnya ia menjabat sebagai Bupati Padang Pariaman dan jabatan lain di pemerintahan Sumbar. Sama saja seperti pejabat di era Soeharto. Semua berjalan santai, aman dan terkendali tanpa gejolak.

Gamawan Fauzi adalah seorang birokrat dan politikus dari Partai Demokrat. Ia menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat sejak 15 Agustus 2005 hingga 22 Oktober 2009. Kemudian diberi kepercayaan menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia sejak 22 Oktober 2009 hingga 20 Oktober 2014. Penghargaan Bintang Mahaputera Utama 2009 diraihnya selama menjabat sebagai Gubernur Sumbar.

Irwan Prayitno adalah seorang pakar pengembangan SDM, psikolog, praktisi pendidikan, dan politikus dari PKS. Ia menjabat Gubernur Sumatra Barat dua periode hasil pemilihan Gubernur 2010 dan 2015. Sebelumnya, ia duduk di Dewan Perwakilan Rakyat tiga periode sejak 1999 dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia dikenal sebagai pendiri Yayasan Pendidikan Adzkia, tetap mengajar dan menunaikan dakwah sepanjang kariernya. Dipenghujung masa jabatan Irwan Prayitno, sempat mengemuka soal KEK Mandeh dan KEK Mentawai.

Mahyeldi adalah mubalig dan politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat. Sebelumnya, ia merupakan Wali Kota Padang dua periode hasil pemilihan umum 2013 dan 2018. Selama kepemimpinannya, Padang meraih kemajuan di bidang infrastruktur, pariwisata, dan kebersihan. Lewat pendekatan partisipatif, ia memimpin penataan objek wisata dan pasar tradisional yang semrawut pasca-gempa bumi 2009 tanpa menimbulkan gejolak. Sudah 1 tahunan ini Mahyeldi tidak pernah singgung soal KEK Mandeh yang pernah disebut Irwan Prayitno.

Lalu, pertanyaannya sekarang, mengapa judul artikel ini seperti memaksakan bahwa Sumbar (tidak) membutuhkan seorang "visionary leader"? Maaf, Bosque. Saya belum bisa menjawabnya sekarang ya. Selow-selow aja dulu. Kita harus tahu dulu bagaimana status terkini dalam pembangunan Sumbar. Lebih fair, mari kita lihat dulu pencapaian Sumbar dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebenarnya ini sempat saya senggol di artikel Mengulas Jeweran Buya Maarif untuk Elite Politik Sumbar.

Kalau diperhatikan, memang secara statitistik angka-angka IPM Sumbar meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun kenaikannya tidak begitu besar amat sih. Tapi, posisinya masih sedikit di atas rata-rata nasional yang 72%. Sama halnya dengan LPPD dan PPM yang secara data juga ada kemajuan. Artinya, adalah hasil kerja dari gubernur sebelumnya. Namun, saya pikir angka pencapaian itu tidak sesuai dengan potensi SDA dan SDM yang dimiliki Sumbar. Teman-teman saya banyak juga yang sependapat dengan ini. Potensi besar, tapi hasilnya tidak memadai. Sumbar ya begitu-begitu aja. Seharusnya, angka-angka itu bisa jauh di atas itu.  

Kira-kira, apa ya permasalahannya? Menurut saya, ada dua faktor yang harus kita cermati bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun