Sekilas pandang:Â Tanri Abeng, "Dokter BUMN" di era Soeharto, mendiagnosa dua penyakit di tubuh BUMN. Pertama adalah pengawasan (yang lemah), Alasannya, karena tidak mampu mencium bau korupsi di masing-masing perseroan.Â
Pengawas di BUMN lebih banyak menyerahkan pengawasan ke pihak eksternal seperti Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Dengan kelemahan pengawasan ini dianggapnya dewan pengawas perusahaan tak bekerja sebagaimana mestinya. Kedua adalah mindset yang birokratis dan monopolistis.Â
Dianggapnya, orang BUMN banyak yang terjebak dengan praktek negosiasi politik untuk mengamankan kepentingan dan posisinya. Mindset inilah yang mengalahkan keinginan untuk mempelajari dan mengasah teknikal-managerial skill yang dibutuhkan dalam menjalankan BUMN untuk bergerak maju Go-Global. Akibatnya, jajaran BUMN dianggapnya masih lemah dalam kemampuan mengantisipasi perubahan serta mengadopsi pola pikir bersaing sehingga dipersepsikan sebagai (jagoan) kandang.
Kini, giliran "dokter" Erick Tohir yang ditugaskan Jokowi untuk menyembuhkan penyakit BUMN tersebut. Dalam selang waktu yang berdekatan, dia sudah meracik dua resep obat generic untuk kesembuhan BUMN. Kenapa generik? Ya, ini sebenarnya masalah klasik bin antik yang tidak perlu terlalu banyak berpolemik.Â
Baiklah, yang pertama adalah mengenai implementasi KPI (key performance indicator: indicator kinerja utama) untuk perbaikan kinerja, yang dikeluarkannya di penghujung tahun 2020 lalu. Sebagaimana yang sudah saya bahas di artikel sebelumnya, Mengulik 5 Perspektif Erick, ada lima perspektif KPI yang akan difokuskannya, yaitu: nilai ekonomi dan sosial untuk Indonesia; inovasi model bisnis; kepemimpinan teknologi; peningkatan investasi; pengembangan talenta.Â
Sedangkan yang kedua adalah mengeluarkan buku berjudul Akhlak Untuk Negeri, yang pastinya bertujuan untuk menyehatkan kalbu kalangan BUMN. Akhlak menjadi pilar utama dalam pembangunan karakter sebuah organisasi.
Apa masalahnya?
Pertanyaannya sekarang, ampuhkan kedua obat generik yang sudah diracik Erick itu untuk mengobati kedua penyakit seperti yang didiagnosa Tanri Abeng sehingga BUMN bisa menjadi lebih energik? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita bahas satu persatu kecocokan antara diagnosa penyakit dengan obat generik yang sudah diracik Erick itu.
Pertama, pengawasan yang longgar. Sebelumnya, saya ingin koreksi sedikit kata pengawasan. Bagi saya, pengawasan terasa kurang nendang. Kurang sangar. Kurang macho. Kurang menggigit. Saya lebih senang menggantikannya dengan kata pengendalian atau kontrol (control). Apanya yang dikontrol? Ya, perilakunya (behavior).Â
Dengan cara apa? Pakai sistem (system) dong! Jadi, dengan adanya sistem, maka kontrol menjadi lebih baik, sehingga diharapkan perilaku juga berubah menjadi baik. Dalam sistem, yang dipantau adalah kinerja. Dalam hal ini, kinerja adalah sesuatu yang sudah disepakati dalam bentuk KPI. KPI ini berada dalam suatu sistem kendali manajemen, atau Management Control System (MCS).Â