Guru menjadi kunci utama dalam mendukung pembangunan lebih khusus menyiapkan sumber daya manusia (SDM) generasi bangsa yang berkualitas, bermutu dan berdaya saing di masa yang akan datang. Dalam kurikulum merdeka, posisi guru sebagai penggerak dalam mendukung merdeka belajar.
Hal ini sebagai dasar peluncuran Program Guru Penggerak oleh Mas Mentri, sapaan akrabnya. Profesional seorang guru penggerak dituntut tidak hanya mampu mengajar, mengelola kegiatan kelas secara efektif dan membangun hubungan efektif dengan peserta didik dan komunitas sekolah saja, tetapi harus menjadi motivator, panutan, teladan atau menjadi contoh melalui kepribadiannya (karakter) bagi peserta didiknya.
Dalam mewujudkan visi pendidikan yaitu menghasilkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas, tetapi memiliki karakter maka arah tujuan utama adalah menyiapkan masa depan bangsa melalui terciptanya Pelajar Pancasila.
Profil Pelajar Pancasila yang dimaksud adalah: beriman, bertagwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Karakter guru menjadi penentu dalam mencapai visi pendidikan. Misalkan harapan kita agar anak-anak kita kedepannya mampu bernalar kritis, maka dalam pembelajaran dan keseharian, guru harus merangsang cara berpikir anak agar kritis, dan guru juga harus mampu menunjukkan kekritisannya dalam keseharian termasuk kekritisan terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan banyak orang. Begitupun dengan dimensi lainnya dalam Profil Pelajar Pancasila, guru harus menjadi teladan.
Dalam Kurikulum merdeka, melalui platform Rapor Pendidikan, publik sangat mudah untuk mengakses gambaran secara komprehensif terkait mutu pendidikan termasuk data-datanya. Melalui asesmen nasional, selain kompetensi siswa (literasi dan numerasi), survei karakter (SK) dan khusus survei lingkungan belajar (SLB) diisi oleh siswa, guru dan kepala sekolah.
Hasil asesmen nasional publik bisa membaca korelasi antara kompetensi siswa, guru dan kepala sekolah. Hasil analisis dari rapor pendidikan yang terbaca dalam dimensi A, dimensi B, dimensi C, dimensi D, dan dimensi E masih ada jurang yang cukup jauh, belum sesuai harapan. Artinya Karakter (kejujuran) teruji. Khusus SLB, sebagian besar mengisi berdasarkan kondisi yang ideal, bukan realita.
Misalnya soal kedisiplinan, siswa menjawab jujur bahwa ada guru yang terlambat ke sekolah, sedangkan guru menjawab lain. Hal ini juga sering terjadi dalam kepentingan akreditas sekolah.
Jika kita ingin mendapatkan gambaran pendidikan secara komprehensif, kejujuran semua pegiat pendidikan menjadi modal utama, tutup penulis.
Penulis, Pegiat Pendidikan