Somalia: Suara anak- anak Bermain Dikelilingi Kematian Somalia, Neraka buatan manusia. Setiap hari ratusan anak meninggal karena penyakit yang diakibatkan kelaparan, kolera, diare, malaria, dan kebersihan yang tidak ada sama sekali. Sebenarnya tragedi yang meluluhkan hati siapapun yang masih memiliki hati nurani, dapat dihindarkan dan ditanggulangi dengan baik dan benar. Sangat berbeda dengan tragedi bencana alam, seperti gunung meletus di daerah gunung Merapi, Ā tsunami di Aceh, atau gempa bumi/ tsunami yang terjadi di Jepang. Tragedi ini adalah buatan manusia yang serakah dan korup. Sangat mencengangkan bukan saja mereka yang sudah berpengalaman menangani dan meliputi kejadian/ bencana seperti The CARE, UN, Save The Children, dan Emergency Response Journalist Group (Ap, CNN, NBC, BBC, AlJazeera), dimana ratusan anak yang meninggal setiap menitnya. Dalam pengakuan dari salah satu jurnalis yang kawakan, beliau sendiri tidak pernah melihat tragedi seperti ini, walapun beliau pernah meliput berita mengenai Somalia 20 tahun yang lalu. Paradoks antara ketulusan dan kepolosan dengan kematian disekeliling begitu jelas berdampingan. Mendekati perbatasan antara Somalia dan Kenya dimana beradanya Dadaab tempat pengungsian terbesar di dunia, sekitar 450,000 pengungsi dan setiap hari banyak pengungsi yang datang sekitar 1,500, 80% nya adalah ibu2 dan anak2, menurut pernyataan dari jurubicara UNHCR, Adrian Edward. Tempat pengungsian yang sangat mengenaskan, dibuat dari tanah dan kayu. Tidak ada listrik, air, apalagi tempat tidur. Udara padang pasir yang gersang. Membuat bulu kuduk merinding. Diantara padang pasir dan tanah merah yang begitu mencekam, terlihat gundukan tanah, kecil, dan bangkai binatang bertebaran. Peringatan kepada siapapun yang melewati daerah ini, bahwa tragedi dan keserakahan manusia memakan ribuan anak2 dan orang dewasa. Terlihat dari kejauhan diantara gundukan tanah/ kuburan anak2 terlihat anak2 yang masih bertahan, bermain dengan riangnya. Paradox at best. Semakin dekat, mereka menghampiri dan melambaikan tangannya. Tak jauh dari mereka terlihat beberapa ibu2 seperti patung mengawasi dengan menutup muka dan seluruh tubuhnya. Suara dan tawa serta senyum yang polos semakin jelas. Terlihat pandangan mata mereka yang berbinar2. Sambil berseru ramai2, " Hallo, selamat datang, Allah Maha Besar" dalam berbahasa Somalia. Mereka mengerubungi mobil kami, dengan terpaksa kamipun berhenti. Menurut dokter yang bertugas disana penyakit yang mematikan adalah diare, kolera, dan malaria. Dimana jika di Indonesia sangat mudah dihindarkan. Lalat dimana2, listrik tidak ada, bakteria berkembang biak dengan bebas, air tidak ada. Dengan musim hujan masih jauh, keadaan yang sangat mengenaskan ini semakin mencemaskan para relawan. Keamanan yang sangat rapuh, hanya air, makanan, dan AK47 beserta pelurunya yang lebih berharga dari jiwa seseorang. Pertanyaan yang selalu mengelilingi tragedi ini, " Apa yang kita dapat Ā membantu?" Sangat sulit menjawabnya, karena untuk mengirim bantuan saja sangat sulit. Seandainya Pemerintah Somalia, dan beberapa kepala suku dan group yang ada, bekerja sama saling membantu rakyatnya sendiri. Negara2 kaya dari daerah sekitar seperti Mesir, Saudi Arabia, UEA, Kuwait, South Afrika, dan Iran membantu. Peranan pemerintah Indonesia adalah sangat diharapkan sekali, karena keadaan ekonomi yang stabil. Dapat membantu menjadi "honest broker" dalam mendamaikan antara pihak2 yang bertikai selama puluhan tahun. Lisa Schlein, Liz McLaughlin, Dr. Sanjay Gupta, Matthew Davies, M Onyiego. Jack Soetopo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H