Denpasar, Jan 19, 2014
Sebagai Orang Indonesia yang menjadi warga negara Amerika, telah mengabdi dan bekerja hampir 46 tahun di Indonesia, dan memberbuat sekuat tenaga demi kemajuan dan meningkatkan harkat dan martabat Indonesia. Saya ingin sekali menanggapi tulisan mas Irham Wp, dan Mas Faisal Basri dalam menuliskan mengenai pro dan kontra nya Rupiah, mata uang resmi Indonesia yang tercinta ini.
Tanggapan saya kepada ke dua Kompasioner, dan beberapa Kompasioner lainnya yang mencoba menulis dan memiliki interest terhadap kemajuan, dalam bidang ekonomi Indonesia bukan untuk membuat controversial, atau merendahkan pendapat dan keahlian mereka dalam mengamati, serta menganalisa apa yang terjadi, tetapi saya hanya ingin menuliskan apa yang dibicarakan, dan diskusikan dibalik pintu, dibalik pertemuan-pertemuan bilateral, multi nasional, dengan para bankers, investors, para ahli pembangunan, dan ahli ekonomi yang saya, secara prabadi mengenal dengan baik, dari pihak Negara-negara maju, khususnya dari Amerika Serikat.
Untuk itu saya akan membedah tulisan mas Irham Wp, dan mas Faisal Basri beberapa paragraph, dan kalimat yang saya anggap clichƩ, alias hanya mengikuti apa kata yang Formal, atau dalam istilah diplomatiknya, hanya sekedar being nice.
Apa yang dimaksud kata-kata atau pernyataan yang clichƩ dan being nice yang dilontarkan, di beritakan di media massa oleh para pengamat pasar, ahli ekonomi, dan pialang-pialang baik dari luar negeri, maupun dari dalam negeri?
Yaitu, kata Emerging Market, seperti pernyataan mas Irham Wp, dibawah ini; āPrediksi penulis karena faktor ekonomi global yang dampaknya masih akan menyelimuti perekonomian dunia, maka selain Rupiah beberapa negara emerging markets, mata uangnya juga akan melemah.ā
Sejak 1971, kata ini selalu digunakan, sampai memuncak di tahun 1995an, dimana Negara-negara emerging markets, sampai disebut-sebut sebagai The New Asian Tigers.
Jika anda mengamati business news around the worlds, seperti Al Jazeera, CNN, CNBC, BBC-Business Reports, ABC-Business Reports, WN-Business Reports, dan pernyataan-pernyataan dari banyak pengamat Ekonomi di dunia, selalu menggunakan istilah ini, seolah-olah menjadi kata yang lumrah, dan less, dalam arti yang sebenarnya disebut sebagai Negara-negara less, alias Negara kere( dalam pandangan para pengamat yang memiliki penghasilan 100 kali lipat dari penghasilan pengamat yang ada di Indonesia, atau di Negara-negara yang berkembang).
Sedangkan New Zealand, Australia, Canada, Jepang, bahkan Saudi Arabia, tidak pernah dikatakan sebagai Negara-negara emerging market. Padahal perekonomian mereka dilakukan secara konservatif, justru terlihat stagnan. Hanya setelah munculnya raksasa China, Korea Selatan, dan Taiwan, mereka akhirnya terbangun untuk ikut mengejar ketinggalan dalam pembangunan Negara mereka.
Jadi secara jujur, kata Emerging market, melekat dan digunakan secara istilah yang melekat khususnya untuk Indonesia, adalah pernyataan bahwa Indonesia adalah Negara keok, alias Negara miskin.
Tentunya mas Irham Wp, tidak terasa mengikuti stereotype dengan menggunakan istilah ini, seperti istilah Negara-negara berkembang alias emerging market.
Sungguh lucu, mas Irham, memberikan pernyataan bahwa Akar dari Lemahnya Rupiah itu ada tiga. Seperti saya copas dibawah ini;
Pertama, keluarnya sebagian besar investasi portofolio asing dari Indonesia. Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai tukar Rupiah karena dalam proses ini investor asing menukar Rupiah dengan mata uang utama dunia, seperti Dolar AS untuk diputar dan di investasikan di negara lain.
Menurut saya, bahwa pernyataan ini mencoba menjelaskan seperti mencoba menjelaskan ayam atau telur yang dahulu berada.