Mohon tunggu...
jacindaaliiyah
jacindaaliiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiwi S1 Biologi UNIVERSITAS AIRLANGGA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Krisis Pangan Global Akibat Perubahan Iklim

6 Januari 2025   09:00 Diperbarui: 6 Januari 2025   08:39 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perubahan iklim telah menjadi salah satu tantangan paling mendesak yang dihadapi oleh umat manusia saat ini. Dampaknya tidak hanya terbatas pada lingkungan, tetapi juga merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk ketahanan pangan global. Fenomena cuaca ekstrem seperti kekeringan, banjir, dan siklon tropis telah mengganggu produksi pangan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Hal ini menyebabkan peningkatan harga komoditas utama dan memperburuk kelangkaan bahan makanan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami dampak ekonomi, sosial, dan politik dari krisis pangan yang diakibatkan oleh perubahan iklim serta langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk mengatasinya.
Salah satu dampak paling langsung dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan adalah kenaikan harga pangan. Di Indonesia, cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan telah mengurangi hasil panen padi, jagung, dan komoditas lainnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, produksi padi mengalami penurunan sekitar 3% dibandingkan tahun sebelumnya akibat cuaca buruk yang berkepanjangan. Kenaikan harga pangan ini tidak hanya memengaruhi petani tetapi juga berdampak pada masyarakat luas, terutama di daerah perkotaan yang sangat bergantung pada pasokan pangan dari daerah pedesaan.
Kenaikan harga pangan menyebabkan inflasi yang signifikan, memengaruhi daya beli masyarakat. Di beberapa daerah di Indonesia, harga beras telah meningkat hingga 20% dalam setahun terakhir. Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi keluarga berpenghasilan rendah yang sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Ketergantungan Indonesia pada ekspor dan impor pangan membuat sistem pangan nasional rentan terhadap gangguan. Sebagai contoh, Indonesia mengimpor sebagian besar kebutuhan gandum dari negara lain. Ketika produksi gandum global terganggu akibat perubahan iklim atau konflik geopolitik, dampaknya terasa di seluruh negeri. Pada tahun 2022, harga gandum global melonjak akibat gangguan pasokan dari Ukraina, yang menyebabkan lonjakan harga tepung terigu di pasar domestik.
Gangguan rantai pasok ini tidak hanya meningkatkan harga pangan tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam pasokan makanan. Beberapa daerah di Indonesia mengalami kelangkaan bahan makanan akibat kesulitan distribusi yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir atau tanah longsor.
Krisis pangan global juga meningkatkan risiko kerawanan pangan dan memperburuk kemiskinan di Indonesia. Menurut laporan dari World Food Programme (WFP), sekitar 115 juta orang di Asia Tenggara mengalami kerawanan pangan akut, dan Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan angka kerawanan pangan yang tinggi. Kelangkaan pangan tidak hanya berdampak pada ketersediaan makanan tetapi juga pada kualitas gizi yang diterima oleh masyarakat. Hal ini berpotensi memicu migrasi massal ketika masyarakat tidak mampu lagi bertahan di wilayah mereka akibat kelaparan.
Kenaikan harga pangan sering kali memicu ketegangan sosial dan kerusuhan. Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa protes besar-besaran terjadi ketika harga makanan melonjak tajam. Salah satu contohnya adalah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia dan harga kebutuhan pokok meroket. Ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi dapat memicu gelombang protes yang lebih luas terhadap pemerintahan.
Negara-negara dengan tingkat ketergantungan pangan tinggi sering kali menghadapi tekanan politik domestik ketika pemerintah gagal mengendalikan harga dan distribusi pangan. Di Indonesia, ketidakstabilan politik dapat muncul ketika pemerintah tidak mampu mengatasi masalah inflasi dan kelangkaan bahan makanan. Hal ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah yang berpotensi mengganggu stabilitas politik.
Kelangkaan bahan pangan juga berdampak pada kesehatan masyarakat di Indonesia. Malnutrisi menjadi masalah serius, terutama di kalangan anak-anak. Menurut data UNICEF, sekitar 9 juta anak di Indonesia mengalami stunting akibat malnutrisi. Dampak jangka panjang dari malnutrisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan individu tetapi juga produktivitas ekonomi suatu bangsa.
Menghadapi krisis pangan global yang semakin memburuk akibat perubahan iklim memerlukan tindakan segera dan terkoordinasi. Meningkatkan keberagaman tanaman adalah langkah penting untuk mengurangi risiko kegagalan panen akibat perubahan iklim. Tanaman seperti sorgum dan millet memiliki ketahanan lebih baik terhadap kondisi cuaca ekstrem dibandingkan dengan padi atau jagung. Program diversifikasi ini perlu didorong melalui kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ketahanan petani.
Meminimalkan limbah di tingkat produksi, distribusi, dan konsumsi sangat penting untuk memaksimalkan ketersediaan pangan. Menurut FAO, sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi setiap tahun hilang atau terbuang. Di Indonesia, kampanye pengurangan limbah makanan perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih sadar akan pentingnya efisiensi dalam konsumsi makanan.
Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain dalam perdagangan pangan untuk memastikan pasokan yang stabil dan terjangkau. Kebijakan perdagangan yang mendukung aksesibilitas makanan harus menjadi prioritas dalam agenda internasional serta regional.
Investasi dalam teknologi pertanian modern seperti irigasi cerdas dan bioteknologi dapat membantu meningkatkan hasil panen meskipun menghadapi tantangan iklim. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi petani untuk mengadopsi teknologi baru yang lebih efisien. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran lebih besar untuk ketahanan pangan serta melakukan reformasi kebijakan untuk mengurangi ketergantungan pada impor melalui swasembada. Program-program pertanian berkelanjutan harus didorong agar petani lokal dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik.
Krisis pangan global adalah pengingat bahwa ketahanan pangan tidak hanya berkaitan dengan pertanian semata tetapi juga melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan keberlanjutan. Tanpa tindakan segera untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan, krisis ini dapat membawa konsekuensi sistemik yang semakin sulit diatasi di masa depan. Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menciptakan sistem pangan yang lebih tahan banting dan berkelanjutan bagi generasi mendatang di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun