"Nak, masuk dulu ke dalam rumah. Kau tentu lelah setelah perjalanan dari Banda Aceh ke kampung," ujar Bu Minah kepada anaknya Safriman yang baru pulang dari Banda Aceh.
"Sebentar Mak, Safriman harus segera menemui Pak Geuchik, Mak," sahut Safriman. Ia berlari meninggalkan tas bawaannya. Ia berlari ke arah meunasah. Setahu dia, Pak Geuchik selalu ikut salat berjamaah di meunasah sepulang dari sawah.
Safriman melihat ke sekitaran jamaah yang baru saja menunaikan shalat zuhur. Dilihatnya wajah-wajah yang satu pun tak asing baginya di meunasah yang sedang direnovasi menggunakan dana desa itu. Para pria paruh baya berjumlah sepuluhan orang tampak dihadapannya. Sebagian mengenakan peci hitam, sebagian lagi peci putih. Tapi Pak Geuchik tak terlihat dalam pandangannya.
"Teungku, apa Pak Geuchik kurang sehat? Kenapa beliau tidak nampak di meunasah siang ini," Safriman menegur Teungku Imum. Salah satu tetua gampong yang bertugas memimpin salat berjamaah di meunasah.
"Pak Geuchik hari ini pergi ke kantor camat. Dia dipanggil ke kantor camat untuk rapat dengan Muspika," jelas Teungku Imum dengan nada datar.Â
"Setelah unjuk rasa warga menolak PT tambang kemarin, Pak Geuchik berulang kali dipanggil. Sudahlah Safriman, mungkin memang kita tidak bisa berbuat apa-apa," sambung Teungku Imum coba meyakinkan Safriman.
Safriman adalah salah satu mahasiswa dari Beutong, Nagan Raya yang kuliah di Banda Aceh. Ia pulang kali ini bukan karena panggilan ibunya. Bukan pula karena kenduri pernikahan orang kampungnya. Ia pulang kali ini setelah mendengar kabar bahwa perusahaan tambang emas akan beroperasi di desanya.Â
Dua tahun lalu, Safriman berada di jajaran aktivis mahasiswa yang berhasil mendesak gubernur kala itu untuk membatalkan izin tambang emas di kampungnya.Â
Ternyata perusahaan tambang emas itu tak diam saja. Tiba-tiba sudah keluar izin tambang yang menyetujui perusahaan tersebut untuk beroperasi di kampungnya. Kurang lebih dua tahun setelah aksi besar mahasiswa di Banda Aceh yang berhasil merengsek masuk ke halaman kantor, menembus pagar barisan Brimob.
Safriman tak tahu banyak tentang apa yang terjadi di kampung. Kampung halamannya menjadi tujuannya untuk kembali setelah lulus nanti. Tidak seperti teman-temannya yang memilih mengadu nasib di Banda Aceh, Safriman berniat pulang kampung. Ia bercita-cita mendirikan dan mengembangkan badan usaha milik desa yang membantu distribusi hasil tani untuk dipasarkan ke kabupaten tetangga, atau mungkin ke luar provinsi.
Bagi Safriman, buminya kaya. Tanam tanaman apa saja, pasti tumbuh dan berbuah. Air berlimpah dari mata air pegunungan yang berada di ujung desa. Hal itu menjadi salah satu alasan kenapa tidak ada kios air galon isi ulang di desanya. Warga masih bisa mengakses gratis mata air yang terletak di ujung kampung di lereng bukit untuk kebutuhan air minum. Rasa air gunung itupun segar dan agak sejuk.