Mohon tunggu...
Jabal Rachmat
Jabal Rachmat Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya sesekali menulis

Menulis ketika ingin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Smartphone: Sebuah Paradoks

30 Agustus 2016   22:51 Diperbarui: 30 Agustus 2016   23:33 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: digitalmonkey.com.ua

Smartphone, sebuah produk "smart" yang tercipta berkat kemampuan "smart" manusia. Tak dapat dipungkiri, dewasa ini, kebutuhan pokok manusia yang kita terima saat masih menginjak bangku SMP telah mengalami pergeseran. Jika dahulu, kebutuhan primer adalah Sandang, pangan dan papan, maka dewasa ini dapat ditambahkan satu hal lain, colokan ! Kenapa harus colokan ? padahal artikel saya kali ini akan membahas soal smartphone. Yah, colokan hanyalah sedikit plesetan dari makna sebenarnya, yaitu smartphone.

Mari kita bahas beberapa aspek smartphone yang akhirnya hanya menjadi paradoks, antara hubungan realitas dan niatan dari developer. Kita mulai dari sosial media. yah, si biang keladi sehingga terkadang smartphone kita disita. Si biang kerok yang membuat kita begadang. Si biang kerok yang membuat kita dicap gila. Si biang kerok yang "memaksa" kita untuk senantiasa melihat kondisi smartphone kita. Sosial media, pada awalnya dikembangkan sesuai dengan filosofi dibuatnya handphone, yaitu sebagai media komunikasi jarak jauh. 

Yang jadi masalah dewasa ini adalah, seringkali kita mengabaikan mereka yang dekat, hanya demi menengok teks dari mereka yang jauh. Aneh bukan ? Mari menertawakan diri kita sendiri. Tak jarang kita jumpai, ada beberapa orang sedang ngumpul, bukannya berisik layaknya kawan yang sedang ngerumpi, mereka malah asyik menunduk, memelototi layar smartphone mereka.

Sumber Gambar: digitalmonkey.com.ua
Sumber Gambar: digitalmonkey.com.ua
Ada lagi aplikasi yang "katanya" membuat agar kita keluar dari rumah. Dengan berbagai fitur, pihak developer game tersebut menasbihkan diri sebagai solusi mager serta mengajak kita keluar rumah, melihat situasi di laur sana. Akan tetapi, jauh panggang dari api, aplikasi yag digadang-gadang membuat kita setidaknya menjadi mau lebih bergerak dan tak sekadar nunduk malah membuat beberapa orang dengan liciknya memanfaatkan cheat agar mendapatkan buruannya. Alih alih membuat kita melihat situasi di luar sana, malah membuat manusia makin gila terhadap gadgetnya.

Ah, gadget sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Mulai dari hal remeh seperti mengirim pesan hingga yang paling mutakhir sekalipun layaknya mengontrol pengairan tanaman di green house. Semuanya bisa dilakukan dengan smartphone yang sangat smart. Hingga akhirnya smart kita bergeser dan tergantikan oleh betapa smart-nya smartphone. 

Budaya tulis menulis materi anak sekolah yang dahulu selalu menjadi solusi ampuh agar kita mau belajar dan setidaknya membaca tulisan sendiri malah berubah menjadi budaya memotret materi di papan tulis. Budaya membaca buku, berubah menjadi budayaa menunduki smartphone, menekuni layar smartphone sambil berbisik mencari informasi yang dibutuhkan. Budaya salam juga semakin tergerus, jangankan saat bertemu, untuk bertamu saja, budaya mengetuk pintu pun sudah langka. "Aku ada di depan nih" dan berita pengiriman sukses, seketika pintu bakal terbuka lebar kepada kita.

Ah, bukan para developer yang salah. Bukan pihal pengembang smartphone yang salah. Tapi nyatanya, taraf smart kita tak mampu menangkap itikad baik ayng diusahakan oleh para developer. Akhirnya, kita hanya mampu menunjuki orang-orang yang tak memiliki instagram dengan istilah kurang update. Dengan mudahnya kita menertawakan kawan yang memiliki akun snapchat. Dengan entengnya pula kita mencaplok tulisan-tulisan yang ada di internet. Copy paste menjadi budaya bangsa ini.

Yah, betullah kata Albert Einsten, "Suatu saat, dunia akan punya generasi idiot" kita kah mereka ? Semoga bukan. Tapi gejala kronis telah dilanda generasi kita. Budaya share tanpa pikir menjadi jamur yang begitu mudah menjadi bibit perpecahan. Budaya caplok mencaplok sudah lumrah dilakukan. budaya bullying menjadi tontonan umu dan dianggap sebagai seni.

Ah, smartphone, sepintar pintar dan se smart smart-nya kamu, kamu akhirnya tak mampu mengalahkan para penunggangmu yang handal dan mampu mengendalikan keliaranmu. Semoga kita mampu menjadi para penunggang smartphone yang tak diseret menuju pusara kematian akanl olehnya. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun