Indonesia dengan kualitas pendidikan yang masih sangat rendah dari rata rata kualitatif pendidikan moral dan berpikir anak anaknya. Masih sangat jauh dari kemajuan mental berfikir dan kebebasan berkehendak atas cita citanya sendiri (menjadi apatis cita cita). Terdiam dalam penetapan kurikulum sekolah atau kampus yang telah ditentukan pemerintah. Â
Sekolah sekolah saat ini hanya mencetak masyarkat didik melalui pendidikan kurikulum yang ditentukan oleh sekolah itu sendiri. Sehingga saat pendidik disuruh atau diperintahkan untuk mencetak murid menjadi sesuatu.Â
Maka saat itu dia hanya menjadi budak kehendak formalitas, kreatifitas. Sedangkan kemerdekaan berfikir dan inovasi itu menjadi hilang. Tidak ada lagi kemerdekaan berfikir ketika seseorang harus menghamba pada satu sistem kurikulum yang tidak pasti.
Anak anak yang ada didalam kelas. Tiba tiba diam tanpa sebuah pertanyaan sama sekali. Hanya diam dan memperhatikan pendidik yang disebut dengan guru itu. Bertanya apabila dipersilahkan, dan tidak ada pertanyaan yang menyalahi kurikulum atau pendidik.Â
Semuanya telah dipenjarakan secara utuh pada satu sistem formalitas yang membtasai cara berfikir peserta didik. Tidak ada lagi pertanyaan pertanyaan yang jujur. Sekarang yang ada hanya rasa takut. Dan semua hilang begitu saja dalam belantara kebohongan pendidikan. Mengikuti formalitas tanpa inovasi sama sekali.
Saat ini mereka telah dijadikan penganut nilai. Atau bisa dibilang menghamba pada nilai sekolah. Dimana nilai akan menyesuaikan tingkat otak mereka. Padahal mereka tidak sadar sedang dipenjarakan dalam kardus nilai.Â
Anak yang mendapat nilai A akan dinilai memuaskan alias pintar. Sedangkan anak yang mendapat nilai C atau B, berada dibawah memuaskan alias tidak berpengetahuan. Sehingga hilanglah nilai kreativitas dan inovasi itu sendiri. Mereka dibuat harus patuh pada nilai itu. Dan akhirnya nilai pada kertas putih itu menjadi sakral. Bahkan menjadi tolak ukur, diterima atau ditolaknya anak kejenjang selanjutnya.
Pendidikan dengan sistem kurikulum terpadu atau apalah itu namanya. Dengan puluhan tugas perorangan, kalau jawabannya tidak sesuai bacaan maka akan disalahkan dan tak bernilai. Maka inovasi berfikir seorang anak akan hilang alias manut pada aturan sistem. Sehingga ketika keluar nanti hanya menjadi pengembala produksi pabrik saja.
Ketika kasus faktual yang terjadi dilapangan mempertontonkan pada masyarakat. Anak anak berbaju yang bertulisakan tutwuri handayani tawuran, Pelecehan sexual, narkoba, bahkan menghina guru. Siapa yang harus disalahkan. Gurukah ? orangtuakah ? anak itu sendiri ? atau sistem kurikulum yang mulai basih dan tak memberikan inovasi sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H