Pimpinan DPR ditetapkan berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). UU MD3 yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 2014 atau sehari menjelang pilpres sangat terasa sebagai grand desain untuk kepentingan sesaat koalisi KMP. Hal ini tidak terlepas dari UU MD3 yang ditetapkan setelah masa pendaftaran pasangan capres-cawapres atau setelah koalisi terbentuk. RUU MD3 diajukan oleh presiden yang berasal dari PD dan anggota kabinet serta DPR yang komposisinya sebagian besar merupakan pendukung KMP. Dalam usaha kubu KMP merebut posisi pimpinan DPR, presiden mengajukan RUU MD3 dengan mengubah mekanisme penetapan pimpinan DPR yang dalam UU MD3 sebelumnya ditentukan berdasarkan sistem perwakilan diubah menjadi sistem paket/ voting, dari sebelumnya berdasar perolehan suara rakyat pada pemilihan legislatif diubah menjadi sistem paket yang terdiri dari satu ketua dan 4 wakil ketua. Dengan mengubah mekanisme penetapan pimpinan DPR, otomatis KMP menguasai pimpinan DPR dan menutup pintu bagi KIH bahkan untuk mengusulkan paket pimpinan DPR karena KIH hanya didukung oleh 4 parpol pendukung, jumlah yang tidak mencukupi sebagaimana ketetapan sistem paket pimpinan DPR.
Sayangnya DPD tidak dilibatkan dalam pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2014. DPD sebagai salah satu lembaga yang diatur dalam UU MD3 telah mengajukan judicial review kepada MK karena tidak dilibatkan dalam proses pembahasan UU MD3. Sebagaimana perintah UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pembahasan UU harus dilakukan secara tripartit (DPR, Pemerintah, dan DPD).
Jika pembentukan UU MD3 tidak dilakukan sesuai perintah UU Nomor 12/2011 dan keputusan MK dengan tidak melibatkan DPD dalam proses penetapan UU MD3, apakah UU MD3 dan pimpinan DPR yang ditetapkan berdasarkan UU MD3 adalah konstitusional?
Implementasi UU MD3 juga telah menimbulkan kisruh DPR terkait dengan komposisi pimpinan AKD. Atas kisruh ini, KMP dan KIH bersepakat untuk melakukan revisi UU MD3 terbatas untuk menampung keinginan kedua kubu. Di lain pihak, DPD menginginkan agar dapat terlibat dalam proses revisi UU MD3 dan mengusulkan 13 poin perbaikan. Sudah seharusnya revisi UU MD3 disusun untuk kepentingan negara dengan kembali kepada semangat musyawarah/ mufakat dan juga memperhatikan usulan perbaikan dari DPD dan pemerintah. Jika revisi UU MD3 tidak melibatkan DPD, bukankah revisi UU MD3 juga tidak konstitusional?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H