Sementara ini PLN hanya mampu memenuhi permintaan kurang dari 50% kebutuhan permintaan listrik khususnya di Jawa-Bali yang pertumbuhannya 7%-10% per tahun. Dengan tingkat konsumsi energi listrik nasional berjalan tumbuh di atas 7% per tahun serta semakin menipisnya ketersediaan cadangan tambang BBM dan gas bumi di Indonesia ditambah dengan semakin terbatasnya keberadaan wilayah aliran sungai di p.Jawa yang dapat dimanfaatkan menjadi PLTA, suka atau tidak suka, maka pencarian akan sumber daya energi alternatif termasuk didalamnya pembangunan PLTN, memang mesti telah dipikirkan matang-matang sejak sekarang.
Prakiraan perbandingan per Kwh biaya pengadaan listrik dengan sumber energi geotermal dengan pembangkit dengan BBM adalah $ 0.045 : $ 0.05. Sedang biaya listrik dengan sumber energi nuklir bernilai 2 kali lipat lebih mahal yakni $ 0.1 - $ 0.14 per Kwh.
Sekitar tahun 1995/1996 ketika Menristek dijabat oleh Dr. B.J. Habibie sempat timbul reaksi publik yang luar biasa hebat dalam menentang rencana Pemerintah yang tengah mulai menyiapkan rencana pembangunan PLTN berkapasitas 600 MW di Semenanjung Muria, Kab. Demak, Jawa Tengah. Setelah dapat menimba pelajaran yang amat berharga dari pengalaman pada masa lampau , maka kini Menristek /Ka. BPPT selaku pihak yang paling bertanggungjawab dalam menentukan garis kebijakan tentang pembangunan PLTN, tentulah dapat menetapkan kebijakan teknologi yang tepat sasaran demi kepentingan nasional pada masa mendatang.
Badan Energi Atom Internasional IAEA - International Atomic Energy Agency menyambut baik dan mendukung rencana Pemerintah Indonesia untuk membangun PLTN : Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dan siap membantu guna memastikan kelayakan perihal standar keamanan yang sebaik-baiknya. Dukungan tersebut dinyatakan oleh Direktur IAEA Muhammad El-Baradei dalam ceramahnya dihadapan forum ilmuwan dan staf Kantor Menristek di ruang pertemuan utama gedung BPPT Jakarta hari Jumat 9 Desember yl. Dalam ceramahnya Dr. El-Baradei menggarisbawahi pentingnya upaya pengamanan energi nasional bagi kepentingan setiap bangsa, terutama dalam menghadapi kesenjangan energi di dunia.
Saat ini rencana pembangunan PLTN telah semakin mantap guna dapat direalisasikan di Indonesia agar dapat beroperasi pada tahun 2016. Untuk mana Pemerintah Indonesia aktif melakukan pendekatan kerja sama dengan beberapa negara industri maju maupun negara pengguna PLTN, yakni Korea Selatan, Jepang, Iran, Rusia serta yang terakhir yakni Australia; maupun dengan mengundang tokoh terkemuka ahli nuklir Internasional guna memberikan paparan strategis perihal kemajuan terkini dalam pembangunan PLTN, baik dalam sisi teknologi maupun manajemen konstruksi pengamanan PLTN.
Walau dikenal sebagai pemilik sumber daya alam yang relatif kaya, Indonesia sejak dekade terakhir menghadapi tantangan serius ketersediaan energi nasional, mulai dari kondisi penyandang status negara "net exporter oil" sejak tahun 2000 ditengah fluktuasi harga BBM yang selalu tinggi; disamping terjadinya krisis listrik di berbagai propinsi (luar p.Jawa) saat ini ditengah kebutuhan / "demand" tenaga listrik nasional rata-rata 10% per tahun yang tidak dapat terpenuhi dengan suplai kapasitas existing serta minimnya pembangunan proyek prasarana pembangkit listrik.
Sesungguhnya telah cukup lama sejak lebih dari 2 dekade yang silam ---dibawah era kepemimpinan Menristek BJ Habibie 1974-1998--- Pemerintah telah menggariskan rencana dasar "blue print" pembangunan PLTN sebagai salah satu alternatif sumber energi nasional. Berdasar kajian komprehensif atas berbagai aspek menetapkan rencana pembangunan PLTN di Kabupaten Jepara yang berlokasi di Semenanjung Muria Propinsi Jawa Tengah.
Rencana pembangunan PLTN mendapat tentangan penolakan keras dari kalangan Environmentalists, yang antara lain mengajukan alasan faktor keamanan reaktor PLTN maupun kerawanan lokasi terhadap ancaman gempa.
Dr. El-Baradei menyatakan, bahwa selama 20 tahun terakhir dalam dunia pembangunan PLTN IAEA telah mencatat serangkaian kemajuan dalam hal aplikasi pengamanan PLTN maupun teknologi sumber daya nuklir yang lebih optimal. Dr. El-Baradei menegaskan, bahwa kasus kecelakaan reaktor di Chernobyl - Rusia terjadi akibat "mis-management" : kesalahan dalam tata kelola operasional proyek serta kesalahan dalam desain rancangan reaktor yang tidak optimal.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pembangunan PLTN di wilayah rawan gempa seperti halnya Jepang maupun Indonesia, dapat tetap dioperasikan dengan aman apabila terlebih dahulu melalui serangkaian tahapan analisa pengamanan seperti yang secara ekstensif dilaksanakan oleh Pemerintah Jepang. Teknologi nuklir seperti halnya pilihan teknologi lain, tak'kan pernah ada yang dapat menjanjikan jaminan "absolute safety" 100%, yang terpenting adalah Pemerintah dapat menyadari sepenuhnya antara keuntungan dan resiko. Dr. El-Baradei akhirnya menegaskan bahwa penerimaan meluas dari masyarakat adalah kunci sukses dalam setiap proyek pembangunan PLTN.
Pemanfaatan energi angin di Indonesia belum dioptimalisasikan dengan baik. Padahal potensi energi angin di Indonesia mencapai 9,4 Gigawatt per Hour (Gwh). Dari 160 titik, diperkirakan 35 sampai 40 titik di Indonesia mempunyai potensi kecepatan angin rata-rata per tahun di atas 5 meter per detik. Namun, kebijakan pemerintah yang belum mendukung penggunaan energi angin tersebut membuat pengembangannya terhambat.
"Agar para perusahaan mau berinvestasi, pemerintah harus menetapkan harga dari energi angin. Jika tidak ada harga, bagaimana perusahaan mau menjualnya?" ujar Poempida Hidayatullah, CEO PT Viron Energy, pada workshop yang diselenggarakan oleh WhyPGen bekerja sama dengan Mapiptek di BPPT, Jakarta, 14 Mei 2013.Untuk mengembangkan energi angin, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) membangun proyek Wind Hybrid Power Generation (WhyPGen) Market Development Intiatives.
Proyek tersebut merupakan proyek hibah yang didanai Global Environmental Facility (GEF) yang bertujuan untuk mendorong komersialisasi pembangkit listrik hibrid on-grid berbasis energi angin.Menanggapi kendala dalam penciptaan pasar energi angin, proyek WHyPGen merencanakan fitting tarif dari energi angin. Ini bertujuan untuk menarik para investor agar mau bergabung dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu/angin (PLTB)."Memang kendala dari pembangunan PLTB adalah masalah tarifnya yang belum jelas. Ketidakjelasan ini yang menyebabkan PLTB tidak maju-maju," Dia menambahkan, WHyPGen mengusulkan fitting tarif untuk energi angin kepada pemerintah, yakni antara Rp1.250 sampai Rp1.750 per Kilowatt per hour.
"Selain harga, proyek WHyPGen juga telah membuat peta potensi energi angin di Indonesia. Saat ini, sudah ada delapan titik lokasi potensi energi angin di Indonesia, yang tersebar di Nusa Tenggara Timur, Banten, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Bali.Target utama proyek WHyPGen yang sudah dimulai 2012 dan berlangsung hingga 2015 adalah pembangkit listrik berbasis energy listrik teknologi WHyPGen sebesar 18,113GWh setara dengan pengurangan emisi CO2 sebesar 16.050 metric ton dari aplikasi system WHyPGen kapasitas terpasang sebesar 9,4 MW. (wind)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H