Ujaran seseorang dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis. Jika secara lisan, ujaran tersebut terjadi secara langsung, bertatap muka dengan mitra tutur atau dilakukan oleh perseorangan ketika berbicara dengan dirinya sendiri seperti bergumam karena maksud dan tujuan tertentu, atau ketika seseorang sedang berdoa kepada Tuhannya. Sedangkan ujaran seseorang yang dilakukan secara tertulis adalah dengan menuliskan apa yang dia rasakan dan pikirkan ke dalam media tulis, baik itu buku atau media elektronik yang menyediakan fitur teks tulis. Seseorang dapat menuliskan apa saja dan membaca serta memperoleh informasi apapun dengan membaca teks hasil tulisan orang lain melalui media sosial online layar kaca seperti android dan tablet.
Pada kasus tertentu, pengaruh adanya teknologi elektronik dan komunikasi yang semakin canggih memungkinkan seseorang berbicara atau berujar seorang diri di hadapan kamera video atau menuliskannya di media elektronik layar kaca. Berdasarkan maksud dan tujuan seseorang berbicara dihadapan kamera video atau menuliskannya di media elektronik layar kaca agar dapat disimpan untuk kepentingan pribadi atau sengaja mengunggah dan membagikan kepada publik melalui media social online. Media sosial online terhubung dengan ruang siber sehingga memungkinkan orang lain yang tidak mengenal pengunggah dapat melihat, membaca dan menyikapinya dengan memberikan komentar.
Setiap orang memiliki kebebasan menyampaikan pikirannya melalui berbagai konteks, baik fisik, psikologis, maupun sosial, karena proses menyampaikan pikiran terjadi bukan pada sebuah ruang kosong. Jadi, segala pikiran yang disampaikan dalam bentuk pesan memiliki fungsi sebagai alat kendali, motivasi, informasi serta pengungkapan emosional Robbins (2014, hal. 310-311). Baik pengirim pesan maupun penerima pesan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran dan perasaannya. Pada konteks mengirim dan menerima pesan bertatap muka secara langsung, seseorang dapat mengendalikan diri secara emosional untuk menghindari konflik. Berbeda dengan mengirim dan menerima pesan melalui media sosial online. Pengirim maupun penerima dapat menyembunyikan identitas dirinya, sehingga secara emosional mereka dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan tanpa ada pengendalian diri. Hal tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan konflik. Keberadaan media sosial dianggap memudahkan seseorang untuk menyampaikan pikiran atau perasaan kepada orang lain dengan lambang yang bermakna.
Pada situasi tertentu, penggunaan media sosial dapat merubah sikap atau tingkah laku seseorang dan menimbulkan efek tertentu Effendy (2003, hal. 13). Hal tersebut tentu saja perlu menjadi perhatian setiap pengguna media sosial, bahwa pesan yang disampaikan melalui media sosial akan memiliki dampak atau efek yaitu berupa komentar dari publik. Dampak atau efek tersebut bervariasi, bisa komentar yang baik dan bisa juga komentar yang buruk.
Setiap orang yang memiliki akun di media sosial, dapat menyampaikan pikiran dan perasaanya. Meski mereka paham akan konsekuensinya, yaitu akan dibaca dan diberi komentar oleh orang lain. Namun tidak sedikit pemilik akun yang mengabaikan resiko lain, yaitu menyakiti orang lain dengan menghina, dan mencemarkan nama baik orang lain. Sedangkan UU ITE berlaku bagi pengguna akun media sosial yang melakukan tindakan tidak menyenangkan seperti mengujarkan kebencian pada orang lain, sehingga pelaku dapat dikenakan sanksi hukum tindak pidana. Hukum online pencemaran nama baik dalam UU ITE pasal 27 ayat (3) bukan delik biasa ditinjau dari esensi delik penghinaan dan aspek historis. Dijelaskan, pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang nama baik atau kehormatan seseorang yang memiliki dampak pada pencemaran atau perusakan nama seseorang atau pihak-pihak yang dirugikan. Konten dan konteks tuturan atau tulisan yang ditujukan kepada pihak tertentu merupakan perbuatan "menyerang" nama baik yang dipahami korban, karena merekalah yang merasakan dihina, terhina, dan terlecehkan Sitompul (2012, hal. 39).
Ada hukum yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui media sosial online. Apabila setiap pengguna media sosial memahami hukum tersebut, maka kecil kemungkinan terjadi tindak pelanggaran. Mereka yang menyampaikan pesan di ruang siber disebut netizen. Netizen dapat mengirim sekaligus menerima atau memberikan komentar. Netizen ada yang berlaku sebagai lovers atau pecinta subjek, dan haters atau pembenci subjek. Loversakan tampak pada ujaran mereka yang memuji, mendambakan, mengelu-elukan, bahkan membela subjek jika dihujat oleh haters. Sebaliknya, hatersakan tampak pada ujaran mereka yang mencela, menghina, berkata tidak senonoh, bahkan memfitnah dan mencemarkan nama baik subjek yang dibencinya. Ujaran kebencian merupakan tindakan menyerang kehormatan pihak lain seperti menista, penghinaan, tuduhan, memfitnah, dan sebagainya melalui ucapan Soesilo, (2013, hal. 225).
Ujaran kebencian, penistaan, pencemaran nama baik biasanya sering dilakukan secara terang-terangan dan juga menggunakan kalimat tabu. Tabu adalah suatu hal yang dianggap memiliki daya atau kekuatan jika diucapkan atau dilakukan dan dipercayai dapat menimbulkan hal buruk sehingga memunculkan pantangan atau larangan. Daya atau kekuatan dari ucapan dan tindakan yang dianggap tabu dapat berupa ucapan atau tindakan tidak senonoh, kotor, tidak pantas atau tidak layak. Sedangkan ucapan atau tindakan tabu dipercayai dapat membahayakan dirinya dan orang lain. Ucapan atau tindakan tabu dari seseorang kepada orang lain dapat dianalisis dengan pendekatan linguistik forensik.
Linguistik forensik merupakan kajian multidisipliner, yaitu ilmu linguistik dan ilmu forensik. Subyantoro (2017, hal. 3) menyatakan bahwa linguistik forensik merupakan kajian penerapan ilmu linguistik dan ilmu hukum dengan ruang lingkup kajian: 1) bahasa sebagai produk hukum, 2) Bahasa dalam proses peradilan, dan 3) bahasa sebagai alat bukti. Selanjutnya, Olsson (2008, hal.3) linguistik forensik adalah hubungan antara bahasa, tindak kriminal, dan hukum yang di dalamnya termasuk penegak hukum, masalah hukum, perundang-undangan, perselisihan, atau proses hukum, bahkan perselisihan yang berpotensi melibatkan beberapa pelanggaran hukum yang ditujukan untuk mendapatkan penyelesaian hukum.
Menurut ahli linguistik forensik, setiap pengguna bahasa memiliki versi sendiri yang berbeda. Masing-masing berbicara, menulis, dengan asumsi idiolek tersebut menunjukkan identitas diri yang khas dan istimewa, baik secara lisan maupun tulisan. Hal tersebut memudahkan ahli linguistikforensikmelacak konsep yang mendasarinya. Setiap pengguna bahasa memiliki kosakata aktif yang banyak yang diperoleh dan digunakan selama bertahun-tahun, dan tentu berbeda dengan banyaknya kosakata yang dimiliki oleh orang lain. Pada prinsipnya, setiap penutur bisa menggunakan kosakata yang dimilikinya kapanpun, namun pada kenyataannya mereka cenderung memilih kosakata yang lebih disukai secara individual. Hal ini tentu saja bermanfaat untuk kepentingan sidik jari linguistik.
Menurut sudut pandang linguistik forensik, ciri khas linguistik seseorang dapat digunakan untuk bahan penyidikan dan penyelidikan hukum, seperti tanda tangan, untuk mengidentifikasi pelaku pelanggaran hukum Coulthard, Johnson, & Wright (2017). Kosakata dapat menjadi salah satu indikator dalam bahan penyidikan dan penyelidikan hukum. Salah satunya adalah kosakata jenis kalimat tabu. Fershman (2011:139) dalam Encyclopedia Britannica mendefinisikan tabu sebagai larangan melakukan suatu hal dengan keyakinan bahwa sesuatu tersebut sakral, disucikan, berbahaya, dan terkutuk jika dilakukan oleh orang awam.Pengertian tabu mengalami perluasan makna positif dan negatif Freud (1913:90); Affini (2017: 95). Kata tabu itu sendiri pada satu sisi dipahami sebagai suatu hal yang ditakuti, berisi kekuatan supranatural, sehingga perlu dihindari, atau agar kesuciannya tidak tersentuh manusia sehingga tercemar. Di sisi lain, dipahami sebagai suatu hal yang kotor sehingga dilarang untuk disentuh agar tidak menimbulkan penyakit atau marabahaya dengan sifat kejahatannya yang dikandungnya. Penelitian terkait ujaran kebencian dilakukan oleh Ningrum (2018) berjudul "Kajian Ujaran Kebencian di Media Sosial" tersebut mendeskripsikan bentuk tindak ujaran kebencian di media sosial serta jenis tindak tutur ilokusi pada komentar netizen di facebook. Di temukan bentuk ujaran kebencian pada topik masalah politik, sosial, ekonomi, dan agama; tindak tutur ilokusi bentuk asertif 32,63%, direktif 20,63%, komisif 9,26%, ekspresif 35,9%, dan deklaratif 1,58%. Rahman (2019) dalam penelitiannya yang berjudul Penggunaan Kata Tabu di Media Sosial: Kajian Linguistik Forensik mendeskripsikan tipe-tipe kata tabu yang digunakan warganet di media sosial. Ditemukan adanya kata-kata cabul, bahasa vulgar, dan penyebutan nama dan hinaan. Kata-kata tabu yang ditemukan berpotensi melanggar hukum tentang UU ITE dan KUHP tentang penghinaan.
Menurut Datang (2023), linguistik forensik adalah kajian linguistik atau ilmu bahasa yang berkaitan dengan hukum, pakar linguistik forensik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan juga salah satu pendiri Komunitas Linguistik Forensik Indonesia (KLFI) ini mengatakan berbagai bidang ilmu punya cara sendiri untuk berperan membantu penegakan hukum. Forensik dalam linguistik forensik itu sama misalnya dengan kedokteran forensik atau psikologi forensik yaitu kajian dari berbagai disiplin ilmu yang tujuannya untuk membantu agar suatu kasus hukum terang-benderang. Datang (2023) juga menambahkan bahwa linguistik forensik sebagai kajian linguistik terapan. Maksudnya, linguistik terapan sebagai pendekatan interdisipliner dalam memahami masalah bahasa di dunia nyata. Caranya dengan analisis ilmu bahasa serta disiplin ilmu lain yang relevan.