Pontianak (23/03/2017 )
Ketika mendapat berita wa dari P Hery, direktur sekaligus pemilik dari PT Wajok Intilestari, Kubu Raya, Pontianak bahwa ada rencana panen Arwana atau Ikan Naga, Liung He menurut dialek Tiow Chew,Tionghoa. Saya langsung menghubungi Ir.Joko Sulistyo,alumni IPB dan mantan kolega di Hatchery CP Bahari ,Lampung untuk siap siap terbang ke Pontianak,Bumi Khatulstiwa yang saat itu sedang mengalami Equinox. Bisa melihat panen ikan Arwana memang bukan momentum biasa tetapi bisa melakukannya di saat Equinox ( di Pontianak berlangsung dari 20-23 Maret 2017 ) tentu saja luar biasa.
Pada hari Senin ( 20/03 ) jam 10.30, saat pesawat GA baru mendarat di Bandara Supadio rasanya sudah ingin langsung tiba ke Farm walaupun perjalanan naik mobil  dari Bandara ke Farm hanya sekitar 15 menit saja, kata Hery, tuan rumah dengan senyumnya yang ramah. Saat itu suhu udara baik di Jakarta apalagi di Pontianak sedang tidak ramah, panasnya mencapai 32 Celsius. Maklum pada saat Equinox ,matahari, sang Surya sedang berjalan  persis berada diatas  garis imaginer Khatulistiwa yang melewati kota Pontianak.( Tahun 2017 di bulan Maret 20 – 23 dan Sept 20- 23  ) Â
PT Wajok Intilestari ( WIL)
Perusahaan WIL adalah perusahaan yang menjadi pionir dalam hal budidaya Ikan Arwana di Indonesia,khususnya di Pontianak, propinsi Kalimantan Barat. Ketika para eksportir lainnya  masih menampung ikan Arwana dari hasil tangkapan dialam bebas dihulu Sungai Kapuas, Bapak The Henrie atau sering dipanggil P A Hian, pendiri perusahaan ini sudah mempunyai visi. Beliau mengundang para pakar untuk menghasilkan benih  Ikan Arwana dari hasil penangkaran di Hatchery, Balai Benih. Pada saat ini hatchery dan kolam budidaya WIL yang seluas 22 Ha, merupakan yang terbaik dan tercanggih di Indonesia ,lebih bagus dari milik Pemda atau KKP. Â
Pemilik dan pendiri WIL ini  sudah menyadari bahwa Arwana, ikan hias yang dilindungi CITIES dan menjadi Primadona ekspor daerah Kal-Bar, pasti akan punah karena harganya tinggi sehingga diburu siang malam oleh penduduk yang hanya bermodalkan lampu senter atau baterai Aki saja. Memang Ikan Arwana bukan hanya hidup di Kalimantan saja, di Sumatera dan bahkan di Papua juga ada. Tapi ikan Arwana yang paling indah dan paling anggun berenangnya sehingga di sebut Super Red hanya ada di Sungai Kapuas yang konon merupakan sungai terpanjang di Indonesia, 1.145 Km  ,lebih panjang dan jauh dari jalan Pos Anyer – Panarukan di pulau Jawa, sepanjang 800 km yang dibangun oleh Gubernur  Jendral Daendels ditahun 1806 an. Sebelum masuk Cities ( The convention on International Trade inEndangered species of wild Fauna and Flora)  yang merupakan perjanjian diantara pemerintahan di dunia untuk melindungi Fauna dan Flora yang terancam kelangsungan hidupnya, Ikan Arwana atau Ikan Siluk ini sering dijadikan ikan Asin oleh masyarakat di daerah Semitau, Nanga Silat dan Putussibau di hulu Sungai Kapuas.Dan konyolnya Ikan asin Siluk ini tidak populer karena banyak tulangnya. Bagi orang-orang tua yang pernah merasakan daging ikan asin Siluk ini tentu dengan senyum kecut bisa bangga sama anak cucunya. Eh, tahu enggak kamu bahwa dulu kakekmu pernah makan daging  ikan asin yang saat ini  harganya Rp.20 jt seekornya, tapi rasanya biasa biasa saja masih enakan ikan jambal roti. Umumnya yang dijadikan ikan asin adalah size diatas 3 a 4 kg per ekor  alias Thai Chap ,menurut dialek Hakka Sin On disana. Hal yang sama juga terjadi dengan pohon Gaharu di pedalaman pulau Kalimantan. Untuk mengusir nyamuk yang banyak dihutan masyarakat Dayak membakar pohon gaharu ( Agaar wood ) yang tentu saja  selain aroma asapnya sangat, wangi harganya saat ini juga aduh hai, sekitar US$.30.000,-/kg untuk kwalitas yang tinggi resinnya. Sungguh mewah kehidupan masyarakat di pedalaman Kalimantan, bakar Gaharu hanya buat usir nyamuk saja.Itu ceritera zaman dulu, sekarang setelah informasi harga Gaharu yang tinggi sudah jadi rahasia umum, muncullah petualang petualang dengan menawarkan Gaharu Buaya alias gaharu kw yang direkayasa dengan parfum artifisial. Ada ada saja !
Panen Ikan Arwana disaat Equinox di Farm WIL memang sulit dibedakan atau dibandingkan dengan saat panen rutinnya. Perubahan cuaca yang ekstrim ,dimana terkadang panas sekali kemudian diselingi dengan hujan ternyata mempengaruhi tingkat produktivitas induknya, sehingga kali ini ( 23/03 ) jumlah anakan Arwana yang dipanen juga menurun. Dan hal ini juga terjadi di kolam Budidaya di kabupaten Sanggau dan Sekadau, masih di Kal-Bar juga. Seperti biasa ,kalau supply menurun dan permintaan naik atau masih sama , maka harga anakan atau juvenil pasti naik harganya dibandingkan dengan tahun sebelumnya .  Â
Bumi Kalimantan yang  kaya raya.
Kalau di pikir pikir sungguh kaya pulau Kalimantan ini. Rakyatnya makan ikan asin Siluk dengan harga puluhan juta rupiah dan untuk mengusir nyamuk asapnya dari pohon Gaharu pula. Belum lagi bahan tambang lainnya seperti Intan,Emas ,zircon dan bauksit didaerah Ketapang yang berlimpah depositnya. Pertanyaannya kenapa pembangunan daerah di Kal-Bar masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan di Pulau Jawa, apalagi dibandingkan dengan Sarawak, tetangga kita di Malaysia. Misalnya, masih sering terjadi byar-pet alias black out listrik PLN ,terkadang sehari bisa 3 a 4 kali terjadi, padahal di Sarawak,Malaysia mereka kelebihan listrik dan jual dengan harga murah  ke PLN di daerah Badau,Putussibau. Begitu juga harga gula pasir di Kuching hanya sekitar Rp.7.000,-/kg,tapi untuk kwalitas yang sama di kota Sanggau dan sekitarnya rakyat harus membeli dengan harga Rp.14.000,-/kg dengan alasan gulanya dari Jawa yang tentu saja ada biaya transpornya. Apakah adil rakyat perbatasan  Kal-Bar yang pembangunan daerahnya masih terbelakang dan tinggal jalan kaki menyebrang  ke Tebedu harus membeli atau memberi subsidi pada Gulaku dari Lampung atau Jawa dengan harga 2 x lipat. Apabila ada warung dan toko yang menjual gula  selundupan dari Malaysia sering di razia oleh petugas baik resmi maupun tak resmi dan buntutnya UUD juga.
Presiden Jokowi pasti menyadari ketimpangan ini sehingga semenjak di lantik jadi Presiden di tahun 2014 ,beliau sudah 8 kali mengunjungi daerah perbatasan untuk blusukan pembangunan disana. Hanya sayang sekali, karena keterbatasan waktu , beliau tidak pernah naik mobil dari Pontianak ke Sanggau terus ke Entikong dengan waktu tempuh 5 – 7 jam untuk jarak sekitar 290 km saja.
Coba saja Presiden Jokowi pernah ke naik mobil RI 1 ( yang tentu saja tak mogok ) ke Entikong , jalan kitak pasti mulus kata sidak  di warung kopi Among, Sanggau.