Mohon tunggu...
J. Alamsyah
J. Alamsyah Mohon Tunggu... profesional -

a cup of coffee life

Selanjutnya

Tutup

Money

"Melayang" Bersama Segelas Es Kelapa Muda Didepan ****maret

28 September 2013   15:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:16 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13803551411404916030

Gerah. Panas. Sambil menikmati segelas es kelapa muda pelepas dahaga, siang itu di pinggiran pasar tumpah yang semrawut ditepi sungai yang juga tak kalah lusuhnya saya sedang beristirahat sekaligus mengganjal perut setelah hampir setengah hari mengukur jalanan. Maklum, sebagai seorang "bukan pegawai" kadang saya menghabiskan waktu berkeliling menyusuri jalan-jalan kota dan desa entah kemana berkendara sepeda motor tua milik saya atau terkadang sambil berolahraga mengayuh sepeda angin. Di seberang jalan tampak dengan megah berdiri sebuah toko swalayan ****maret, bersaing dengan toko-toko kecil dan pedagang-pedagang pasar yang napasnya tersengal-sengal untuk sekadar bertahan hidup. Mungkin kata "bersaing" kurang tepat untuk menggambarkan situasi ini, sebab "bersaing" memiliki makna adanya kompetisi antara dua pihak atau lebih yang memiliki kapasitas sama, atau setidaknya hampir sama. Nah, kalau toko-toko kecil dan pedagang-pedagang pasar itu, yang memang benar-benar kecil ukuran ruangannya, benar-benar kecil modal usahanya dan benar-benar kecil kemampuan atau pengetahuan berbisnis pemiliknya ( sebab yang mereka tahu hanya mengandalkan semangat dan kerja keras ) harus "bersaing" dengan ****mart - ****maret itu, menurut saya sungguh sangat tidak adil. Setidaknya begitulah menurut saya. Tidak adil karena menurut saya kapasitas mereka jelas-jelas berbeda. Modal, koneksi dan pengetahuan atau skill mereka jelas bagaikan langit dan bumi, lalu mereka dibiarkan bersaing, face to face. Toko-toko kecil dan para pedagang pasar itu, sendirian, harus menghadapi lawan tanding yang tidak saja memiliki kemampuan jauh diatas mereka tetapi juga organisasi ( jaringan ) yang kuat. Dalam bahasa sederhana saya, ini seperti "mengadu" siswa SMU dengan siwa SD. Maka pasti yang terjadi bukanlah sebuah persaingan atau kompetisi, melainkan sebuah penjajahan ( ah...mungkin saya terlalu mendramatisir ). Es batu di gelas yang saya pegang mulai mencair. Mata saya masih terus menatap toko ****maret tersebut, hilir-mudik, keluar-masuk orang berbelanja. Beberapa diantaranya mengajak serta anak-anak kecil mereka untuk berbelanja, benar-benar sebuah pendidikan yang baik tentang "konsumerisme". Lalu tiba-tiba seorang ibu memarahi anaknya yang merengek-rengek karena meminta ice cream yang harganya dirasa terlalu mahal. Saya tersenyum. Seteguk es kelapa muda terasa begitu nikmat. Lalu pandangan saya bergeser sedikit ke kiri, toko kecil yang penjualnya duduk termangu menanti datangnya pembeli. Satu orang datang, kemudian pergi. Agak lama, satu orang datang lagi dan lalu pergi. Kontras dengan toko ****maret yang pembelinya seperti tak ada habisnya, keluar-masuk, datang dan pergi, silih berganti. Saya menggoyang-goyangkan gelas dalam genggaman, maksudnya supaya gula yang mengendap dibawah bercampur merata ke seluruh air kelapa dalam gelas. Lalu saya meminumnya, seteguk lagi. Lalu ingatan saya berkeliling ke pasar-pasar yang hampir sebagian besar disekitarnya berdiri toko ****mart - ****maret tersebut. Saya tidak mengerti apakah memang lokasi-lokasi tersebut menjadi prioritas pendirian toko "mart-maret" tersebut karena potensi pasar yang besar atau karena kompetitor yang mudah untuk "dikalahkan" ( toko-toko kecil dan para pedagang pasar itu ), atau mungkin karena kedua alasan tersebut. Sekali lagi saya membutuhkan seteguk es kelapa muda untuk sedikit mendinginkan pikiran yang mulai berputar-putar. Memangnya apa yang salah ? Bukankah semua warga negara berhak untuk bekerja, berusaha dan mendapatkan penghidupan yang layak ? Lagi pula tokh akhirnya pembeli, konsumen juga-lah yang menentukan pilihan dimana dan kemana mereka akan membelanjakan uangnya. Jadi kalau ada yang mendirikan toko "mart - maret" di sekitar pasar itu apanya yang keliru ? Terus kalau orang-orang yang hendak berbelanja itu lebih memilih untuk membeli di ****mart atau ****maret dan bukannya di toko-toko kecil atau ke pedagang-pedagang pasar itu salahnya dimana ? Loh...sekarang kok saya juga jadi bingung, saya kok juga jadi tidak bisa menunjukkan apanya yang salah ? Cuma dalam hati ini kok rasanya ada yang tidak pas, tidak "sreg" dan ada yang mengganjal dengan "fenomena" ini ( maaf bahasa saya agak melantur ). Lalu pikiran saya pun berkelana, membayang, meng-angan dan memimpikan sebuah bentuk tatanan bernegara bermasyarakat yang bermartabat. Saya membayangkan seandainya pemerintah mau memberikan proteksi kepada para pedagang-pedagang kecil itu, entah dalam bentuk pendidikan atau pelatihan yang mampu meningkatkan skill berbisnis mereka atau dalam bentuk dukungan perbaikan sarana prasarana yang mampu meningkatkan "elektabilitas" mereka di mata para pembeli. Saya membayangkan seandainya ada aturan tegas yang membatasi berdirinya toko-toko "mart - maret" itu di sekitar pasar-pasar tradisional dimana banyak para pedagang kecil menggantungkan kehidupan diri dan keluarga mereka. Saya membayangkan seandainya pemerintah bisa mengatur sehingga mereka, para pedagang kecil dan pemilik modal besar itu bisa saling berjalan seiring membangun kesejahteraan masyarakat. Saya membayangkan seandainya pemerintah bisa memberikan kesempatan yang sama adilnya bagi para pedagang kecil dan juga para pemilik modal besar itu untuk sama-sama bekerja dan berusaha, bersaing dalam arti kata yang sebenarnya dan bukannya saling membunuh seperti sekarang ini. Saya membayangkan seandainya...eitss...muncratan es kelapa muda yang tumpah karena tanpa sadar gelas dalam genggaman tangan saya bergoyang-goyang mengikuti berputar dan pusingnya pikiran, membuyarkan harapan dan impian saya. Lalu saya sadar...sungguh sangat naif untuk berharap kepada pemerintah yang masih sangat muda ini. Yang masih sangat sibuk dengan sifat "kekanak-kanakannya". Sungguh sangat naif untuk berharap kepada pemerintah yang bahkan sekarang sedang kebingungan dalam mengambil langkah. Yang terbaru, lihatlah kebijakan mobil murah yang "aneh" ini. Sungguh sangat naif berharap kepada pemerintah yang sangat naif ini. Sekarang saya sadar mungkin kita hanya bisa berharap kepada "rasa sosial" dan "kebijakan" dari para pemilik modal besar tersebut, untuk tidak membuka toko-toko "mart - maret" nya di sekitar pasar-pasar tradisional ( semoga bukan impian kosong ). Kini bukan saja pikiran saya yang berputar melayang-layang, kepala saya pun mulai terasa pening. Lalu masuk sebuah pesan singkat pada ponsel yang saya kantongi, dari istri tercinta yang berpesan untuk dibelikan tissu karena persediaan dirumah yang sudah menipis. Saya meneguk sampai habis es kelapa muda lalu membayarnya seraya berpamitan kepada bapak setengah baya penjual es kelapa muda tersebut. Lalu tanpa sadar kaki saya melangkah menuju ****mart, dan bukannya ke toko kecil di sebelahnya. Saya masuk, mengambil sebungkus tissu lalu membayarnya di kasir. Lalu saya pun semakin sadar bahwa juga dibutuhkan "rasa sosial" dan "kebijakan" dari diri saya... Seandainya saja saya membeli tissu di toko kecil itu... Salam... Share artikel seputar kewirausahaan, tips usaha Disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun