Kisah nyata
Tak ada yang berbeda dari hari-hari lainnya, jum'at kemarin seperti biasa ketika adzan subuh bergema dari musholla dekat rumah kami, jama'ah yang tidak terlalu banyak bahkan bisa dihitung jari itu berdatangan untuk menunaikan sholat subuh. Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak ditambah satu atau dua anak muda, beliau-beliau inilah yang bisa dibilang istiqomah dalam berjama'ah sholat. Dan diantara jama'ah yang istiqomah itu ada seorang yang bernama Usup, penjual koran yang kurang waras.
[caption id="attachment_121878" align="alignleft" width="211" caption="sujud"][/caption] Usup, begitulah kami biasa memanggilnya karena tidak tahu siapa nama aslinya. Usianya sekitar 40 an tahun, agak kurang waras, hidup sebatang kara dan sering tidur di musholla. Tidak seperti kita yang gagah bila berjalan, Usup ini agak sempoyongan tiap kali berjalan dengan kepala yang selalu agak miring dan bergerak-gerak mirip ayam tetelo. Pakaiannya-pun tidak seperti kita yang rapi, bersih dan parlente tapi Usup lebih senang mengenakan kain sarung yang dipakai sekenanya dan kaos oblong. Setiap hari ia berjualan koran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak banyak dan ribet. Meski agak kurang waras, ia masih bisa menghitung mata uang sampai kisaran ribuan. Tak pernah sekalipun ia meminta-minta uang kepada orang, kegiatannya hanya terbatas pada berjualan koran dan sholat berjama'ah di musholla serta aktif menghadiri pengajian malam mingguan ditambah "yasinan" tiap malam jum'at. Kalau berbicara soal konsistensi, maka Usup adalah orang yang paling konsisten dalam hal absensi sholat berjama'ah, pengajian dan yasinan diantara kami.
Bila anak-anak kecil mengganggunya, Usup akan berteriak-teriak dan berbicara sendiri. Tapi tak sekalipun ia pernah menyakiti anak-anak itu baik dengan tangannya ataupun dengan melemparkan sesuatu. Wajahnya akan berseri-seri jika dalam suatu kesempatan pengajian sang tuan rumah memberikan "berkat" atau "nasi kenduri" untuk dibawa pulang, baginya seolah memiliki nasi kenduri satu wadah itu sudah mencukupi kebutuhan hidupnya, tak ada keinginan yang macam-macam seperti kita-kita ini. Masih ingat dalam ingatan kami bagaimana ia meminta dibuatkan sebuah tulisan berbunyi "Baca 2000, Beli 1000" pada selembar kertas yang digantungkan di lehernya sambil berjualan koran, karena banyak diantara kami yang hanya meminjam korannya untuk dibaca tanpa mau membeli dengan harga yang cuma seribu rupiah, ah sungguh memalukan.
Dan subuh jum'at itu, di serambi musholla Usup terbangun dari tidurnya setelah mendengar suara adzan. Ia pun berjalan menuju tempat wudhu. Setelah berwudhu seperti yang biasa dan bisa dilakukannya ia pun duduk menunggu sholat ditegakkan, namun tiba-tiba ia mengeluh perutnya sakit dan kemudian terbaring lalu tertidur. Selesai sholat subuh Usup masih saja tertidur, kami membiarkannya dan tidak berusaha membangunkannya. Waktu pun berlalu, jam 10 pagi dan Usup masih tertidur di musholla. Orang-orang mulai ramai membicarakannya dan berdatangan ke musholla. Beberapa diantara kami berinisiatif membangunkannya. Aneh, tak seperti biasanya meski sudah digoncang-goncangkan dengan keras Usup tak juga terbangun. Maka kami memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit dan saya-lah yang mendapat tugas untuk membawa kendaraan. Setelah sampai di rumah sakit, petugas medis membantu saya menurunkan Usup yang masih tertidur dari kendaraan lalu membawanya ke ruang perawatan. Tapi kemudian, Usup menghembuskan nafas terakhirnya... Tak ada kesakitan luar biasa seperti yang pernah saya saksikan saat seseorang dicabut nyawanya. Usup meninggal dengan tenang, lembut dan tanpa suara.
Selesai sholat jum'at, jenazah Usup disemayamkan di musholla yang menjadi rumahnya. Orang-orang berdatangan ke musholla untuk melayat. Tak satupun dari kami yang menangis, tapi kami jelas merasa kehilangan. Kami menyolatkannya dan mendoakannya lalu mengantar jenazahnya sampai ke makam. Proses pemakaman berjalan lancar, mudah dan cepat. Tak ada kesulitan dan keributan seperti pada proses pemakaman yang pernah saya ikuti. Semua orang tenang, bergerak cepat dan seolah masing-masing sudah tahu apa yang harus dikerjakannya. Lalu kami pun pulang ke rumah masing-masing...
Sementara itu, saya masih tertegun. Bukan sekali ini saya diberi kesempatan untuk menyaksikan seseorang menjelang ajalnya. Bukan sekali ini pula saya mengikuti prosesi pemakaman. Saya tidak bisa menilai kualitas amal seseorang, dan saya juga tidak tahu apakah seseorang itu dinilai baik atau buruk amalnya. Tapi sungguh... apa yang saya saksikan adalah sebuah cara yang baik untuk mati, pilihan hari yang baik untuk mati dan yang pasti adalah kematian yang baik. Ah, saya jadi bingung siapa yang sebenarnya tidak waras...???. Selamat jalan Usup atau siapapun nama aslimu...
Kami, yang merindukan "khusnul khotimah"
J. Alamsyah , Kediri
www.BisnisArtis.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H