27 November 2024 merupakan puncak dari pesta demokrasi yang telah berjalan sejak ditetapkannya para calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon walikota dan calon wakil walikota serta calon bupati dan calon wakil bupati. Puncak dari pesta demokrasi tersebut ialah saya dan para pembaca akan memilih para pemimpin daerah yang akan memimpin suatu wilayah/daerah. Sebagai suatu pesta, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) seharusnya terlaksana dengan riang gembira tanpa penindasan, politik uang dan pemaksaan kepada seseorang untuk memilih paslon yang anda inginkan.Â
Secara umum, pilkada sebagai suatu pesta memiliki beberapa tahapan yaitu:
Persiapan Pilkada
Proses Pilkada
Pasca Pilkada
Tiga tahapan pilkada dapat dibagi lagi ke beberapa poin, namun disini penulis hanya membatasi pada garis besarnya saja. Tiga tahapan tersebut harus dapat dilaksanakan secara riang gembira dan penuh suka cita. Namun ada saja hal-hal yang dapat menyebabkan ketiga tahapan berjalan secara tidak lancar dan politik riang gembira sulit dicapai, misalnya saja pada tahap proses pilkada yakni pada masa kampanye yang seringkali terjadi politik uang dan penindasan kepada masyarakat serta lurah atau  RT/RW dengan menggunakan aparat untuk memenangkan salah satu paslon. Salah satu hal yang penting untuk ada dalam setiap diri manusia adalah introspeksi diri atau dalam hal ini introspeksi cara berpolitik kita. Pasca pilkada merupakan momen yang tepat bagi kita untuk introspeksi diri, maka jadikan tahap pasca pilkada sebagai tahapan introspeksi cara berpolitik kita.
Pasca Pilkada Sebagai Momen Introspeksi Cara Berpolitik Kita
Anda yang mungkin pernah menerima uang suap dari salah satu calon, menjelek-jelekkan fisik ataupun hal-hal yang sifatnya non politik pada salah satu paslon (artinya yang anda kritik bukan kebijakan atau visi-misinya), memaksakan pilihan anda kepada orang lain bahkan mengancam orang yang tidak sejalan dengan anda serta hal-hal lain yang bersifat merusak suasana politik yang damai dan indah. Pasca pilkada ditandai dengan adanya pemenang baik hasil quick count dari berbagai lembaga survei maupun hasil real count dari KPU. Momen pasca pilkada seharusnya bisa kita jadikan sebagai introspeksi atas dosa politik yang kita lakukan (termasuk dosa politik yang dilakukan oleh penulis). Jangan jadikan pasca pilkada sebagai momen saling membenci dan menyerang fisik maupun hal-hal yang bersifat non politis dari paslon yang terpilih. Seharusnya pasca pilkada dapat menjadi sebuah momen penyadaran. Penyadaran bahwa pilkada bukanlah sesuatu yang abadi dan jangan sampai momen pasca pilkada justru menjadi awal permusuhan yang tidak kunjung usai.
Hasil Introspeksi Politik = Menerima Pemimpin Yang Terpilih
Bentuk introspeksi yang dapat anda lakukan misalnya menyadari bahwa cara-cara berpolitik yang kotor merupakan sebuah kesalahan yang telah anda lakukan dan anda juga harus bertekad untuk tidak mengulangi bentuk praktik politik kotor yang telah anda lakukan. Selain menyadari kesalahan dan bertekad untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori politik, maka saya dan anda harus menerima siapapun pemimpin yang terpilih. Paslon pemenang merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan yang Maha Kuasa, maka pasca pilkada juga dapat dijadikan momen untuk melihat seberapa percayanya anda kepada takdir yang telah digariskan oleh Allah (Tuhan yang Maha Besar).
Haruskah menerima 100% pemimpin yang terpilih?
Jawabannya 95% saya dan anda harus menerima keberadaan para pemimpin yang terpilih dan berusaha mengikuti serta mendukung setiap kebijakan yang mereka akan buat selama pro dan berpihak kepada rakyat. Sedangkan 5% untuk ruang kritis yang perlu kita sisakan. Ruang kritis digunakan untuk mengawasi segala kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh para pemimpin ditiap daerahnya, jangan sampai kebijakan yang dibuatkan tidak pro dan berpiha kepada masyarakat kecil dan kaum menengah ke bawah.