Realitas kaum muslim saat ini menunjukkan bahwa mereka terbagi ke dalam dua kutub yang saling bersebelahan dalam praktik keagamaannya. Satunya begitu longgar terhadap budaya lokal sehingga praktik keagamaannya menjadi singkretis, campur aduk antara halal dan haram. Satu lagi ada yang sangat tidak adaptif dengan budaya sehingga praktik keagamaannya sangat kaku dan kolot.
Ada pula anomali di antara keduanya tadi, ia berusaha memposisikan diri di tengah-tengah (moderat), tidak terlalu sinis terhadap budaya, tidak juga terbuka tanpa batas. Ia tidak mempunyai standar jelas dan baku. Implikasi dari positioning di tengah-tengah yang dipilihnya, maka yang penting tidak terlalu ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, kurang begitu jelas antara sikap moderat atau plinplan.
Ketiga model praktik keagamaan ini terjadi lantaran tiadanya standar yang jelas antara apa yang boleh diakomodir dan apa saja yang mesti tegas ditolak.
Mengenal Hadharah dan Madaniyah
Islam sebagai the world view telah memberikan seperangkat aturan guna menjadi acuan dalam menghadapi setiap problem yang muncul baik menyangkut hubungan manusia dengan al-Khaliq, manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia dengan sesamanya. Ketika kaum muslim di satu sisi dilanda arus deras modernisasi kebudayaan, di sisi lain tetap wajib terikat dengan hukum-hukum Islam maka pada kondisi seperti ini mereka mengalami kegamangan antara memilih hanyut dalam arus kebudayaan baru ataukah tetap mempertahankan budaya lama yang telah usang.
Pada konsisi semacam ini, Islam memberikan jalan keluar. Dalam Islam dikenal konsep hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan pandangan hidup atau paham (isme) tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindra yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup tertentu. Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum untuk seluruh umat manusia (universal). Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadharah, seperti patung, termasuk madaniyah yang bersifat khas. Sedangkan betuk-bentuk madaniyah yang berasal dari produk sains dan perkembangan teknologi tergolong madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia. Bentuk madaniyah yang terakhir ini bukan milik umat tertentu, akan tetapi bersifat universal (an-Nabhani, h. 99).
Hukum mengambil hadharah selain Islam adalah haram. Termasuk bentuk-bentuk madaniyah yang bersifat yang terkait dengan hadharah tertentu. Sehingga, mengadopsi suatu paham selain Islam untuk menjadi pandangan hidupnya, landasan berpikir dan standat perbuatannya, misalnya materialisme, pluralisme, sekularisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, darwinisme hukumnya haram.
Sedangkan dalam perkara mengambil produk-produk materi (madaniyah)harus diperhatikan terlebih dahulu; jika ia lahir dari pandangan hidup tertentu, misalnya lambang salib, dan patung budha, hukumnya haram. Namun apabila produk-produk materi itu merupakan hasil sains dan perkembangan teknologi, misalnya komputer, tablet, hp, hukumnya mubah.
Mendudukkan Dakwah Wali Sanga
Apa korelasi pembahasan hadharah dan madaniyah dengan dakwah menyebarkan Islam oleh para wali (wali sanga)?
Jika mengamati cara dan sarana yang dipakai oleh para wali dalam dakwah penyebaran Islam di tanah Jawa ini, akan kita dapati bahwa itu semua tidak keluar dari rel aturan Islam (sesuai dengan tuntutan syariah tentang madaniyah dan hadlarah). Kita ambil contoh dakwah yang dilakukan Sunan Bonang, sarana dakwahnya menggunakan alat musik bonang. Alat musik ini tergolong ke dalam madaniyah yang universal, bukan madaniyah yang khas. Di samping itu, ia menjadi sarana yang paling tepat menyampaikan risalah Islam kepada masyarakat pada saat itu. Inilah barangkali alasan dipilihnya bonang sebagai sarana dakwah pada saat itu.
Contoh selanjutnya adalah Sunan Kalijaga. Wali yang satu ini tercatat dalam sejarah melakukan Islamisasi dengan sarana wayang kulit. Wayang kulit terkategori ke dalam bentuk-bentuk madaniyah yang universal, halal menggunakannya.
Bagitu juga dengan menara yang berada di komplek makam Sunan Kudus. Menara itu sangat dipengaruhi arsitektur budaya lokal yang berkembang di masyarakat saat itu. Namun ini bukanlah upaya sinkretis, mencampur aduk nilai-nilai Islam dengan yang lain, Hindu. Melainkan perpaduan antara nilai-nilai Islam dengan madaniyah yang berasal dari produk sains dan perkembangan teknologi kala itu. Buktinya, terdapat-perbedaan-perbedaan bangunan menara tersebut dengan ciri-ciri khas bangunan Hindu. Di menara tersebut tidak terdapat patung-patung, arca, dan ukiran atau relief yang bercerita tentang manusia maupun binatang yang lazim terdapat pada bangunan-bangunan Hindu.
Dakwah Para Wali Tidak Sinkretis
Acap kali, dakwah para wali menjadi “dalil” sikap sikretis maupun toleransi yang kebablasan. Ya, umumnya kalangan muslim yang inferior menunjukkan sikap plinplan sebagai sikap toleran.
Padahal, bagaimana mungkin para wali mendakwahkan Islam dengan harapan penduduk memeluk agama ini namun dirinya sendiri melanggar hukum Islam—sinkretis maupun mengadopsi hadharah dan madaniyah khusus yang hukumnya haram. Bagaimana mungkin para wali ini berhasil jika mereka mengemban Islam sembari meninggalkan syariat dalam praktik dakwahnya.
Memang masih perlu kajian lebih serius tentang riwayat-riwayat metode dakwah para wali ini. Akan tetapi, problemnya terletak pada cerita-cerita sejarah tanah Jawa yang sulit dibedakan antara dokumen sebagai sumber sejarah dengan dokumen sebagai kumpulan cerita-cerita mistis. Sementara referensi sejarah yang tersisa hingga saat ini hanya berupa peninggalan-peninggalan, sulit menyambung rantai sejarah dan merekonstruksi kehidupan mereka saat itu untuk diketahui secara pasti.