Mohon tunggu...
izzuddin abdul hakim
izzuddin abdul hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Nama: IZZUDDIN Kampus: FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hentikan Iklan Politik Narsis

26 Februari 2014   03:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:28 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontestasi kekuasaan untuk jabatan politik adalah pertarungan popularitas dan elektabilitas. Memang tidak semua sepakat dengan pernyataan ini. Apalagi para calon yang turun sebagai petarung di gelanggang pemilu akan menampik jika kontestasi kekuasaan hanya dilihat sebagai pertarungan popularitas-elektabilitas, yang artinya minus kapabilitas-kualitas. Meskipun fenomena politik semacam ini benar adanya dan para kontestan merasakannya sendiri dalam pertarungan berebut kuasa, ada saja upaya menutup-nutupi fakta yang satu ini.

Apabila kontestasi kekuasaan hanya dibangun atas dasar popularitas-elektabilitas, maka segala cara akan ditempuh demi mendongkrak dua syarat mutlak ini. Kalau pun tidak dilakukan oleh sang calon sendiri, bisa jadi oleh para timses-nya yang tak ingin jagoannya keok dalam bursa pencalonan. Ambil contoh, spanduk pencapresan raja dangdut Rhoma Irama yang sudah lama terpampang di sudut-sudut jalan di Jakarta. Namun ada yang berbeda dengan spanduk di Jalan Tanjung Barat Raya, Jakarta Selatan. Rhoma Irama punya gelar profesor. Spanduk berukuran tinggi sekitar 3 meter dengan lebar kurang lebih 2 meter ini berwarna hijau dan putih. Foto Rhoma Irama terpampang memenuhi bagian tengah spanduk. Di bawah foto Rhoma tertulis ‘Prof. Rhoma Irama’ (Indonesia Media, 24/2/2014).

Rhoma Irama seorang profesor? Entah ini disengaja atau hanya salah cetak spanduk. Tetapi, cara-cara semacam ini untuk menaikkan elektabilitas calon di mata para pemilih lumrah dilakukan. Ibarat memancing, melalui iklan-iklan politik di spanduk, kalender, dan baliho, para politisi memasang umpan semenarik mungkin dengan maksud mendapatkan dukungan khalayak. Kasus iklan politik Rhoma Irama ini sekedar sampel dari sekian banyak iklan politik narsis lainnya.

Yang Harus Dilakukan

Jika hanya terjadi pada segelintir kasus iklan kampanye mungkin masih dapat ditolerir. Namun, fakta di lapangan menunjukkan alat-alat peraga kampanye untuk sosialisasi calon memang dibuat narsis, tentu dengan kadar atau level narsisme yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan marketing politik tim sukses sang calon.

Bahwa mengajak masyarakat harus cerdas memilih, jangan mau dibodohi, ditipu oleh iklan-iklan politik memang salah satu upaya agar masyarakat memilih dengan tepat. Akan tetapi, ini tidaklah cukup. Perlu juga dihimbau agar para calon tidak berupaya ‘membodohi’ pemilih dengan iklan tipu-tipunya itu. Dengan demikian akan tercipta dua hal yang saling sinergis. Masyarakat dituntut untuk lebih cerdas memilih, dan para calon pun mesti introspeksi dan berkomitmen untuk tidak menjual iklan-iklan politik murahan.

Kadangkala kita temukan calon yang tidak mau introspeksi diri dan ‘bertobat’ dari kekeliruannya itu sembari meyatakan: masyarakat Indonesia makin hari semakin cerdas, jadi tidak akan mau ditipu oleh model-model kampanye yang semacam itu. Percayalah bahwa pemilih akan memilih yang terbaik karena mereka sudah tidak bisa ditipu dengan iklan.

Pernyataan ini sebenarnya bukan pandangan optimis yang harus mendapat apresiasi, melainkan lebih pada jawaban apologi. Buktinya iklan-iklan politik seperti itu masih saja laku. Dan tetap dilancarkan oleh para politisi, tim sukses dan konsultan politik para calon. Dengan pendekatan rational choice, mereka pasti telah menghitung untung-rugi dari setiap iklan politik yang dimunculkan di ruang publik. Jika memang kenyataannya pemilih tidak bisa dikibuli dengan iklan politik narsis, nyatanya mengapa masih banyak iklan-iklan politik seperti itu. Artinya, para kontestan ini juga mengakui bahwa iklan-iklan politik semacam itu masih diterima di kalangan pemilih.

Jadi, untuk pemilu yang lebih baik mari ciptakan upaya yang sinergis oleh para pemilih dan para kontestan. Para pemilih harus lebih melek politik sehingga tidak mudah ditipu oleh iklan politik murahan dan yang lebih wajib adalah para calon jangan berusaha melakukan pembodohan melalui iklan-iklan politik narsis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun