Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Siapkah Kita Mengubah Kitab Hukum Pidana Peninggalan Hindia Belanda?

21 Februari 2018   00:52 Diperbarui: 21 Februari 2018   08:33 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Seketika pemberitaan mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ramai dibicarakan oleh masyarakat akibat mencuatnya kembali diskusi mengenai RKUHP di DPR. Apalagi pada awal tahun 2018, RKUHP dimasukkan dalam Prolegnas tahun 2018 agar dapat disahkan segera. Namun, pengesahannya masih terganjal oleh berbagai perdebatan di masyarakat tentang pasal-pasal yang terkandung dalam RKUHP.

Jika kita merunut pada sejarah, KUHP yang masih berlaku saat ini memang merupakan warisan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertama kali diterapkan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918, usia dari KUHP ini telah mencapai umur 100 tahunnya. 

Setelah beberapa periode, baru pada tahun 1993 pembahasan mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibahas oleh pemerintah bersama dengan DPR. Sejak pertama kali dibahas, RKUHP terus direvisi sampai yang terbaru adalah RKUHP 2017. Hasil revisi ini yang sejatinya akan disahkan oleh DPR untuk menjadi KUHP yang baru.

Semangat untuk membentuh hukum pidana nasional yang baru memang sangat dapat dimaklumi, dikarenakan kita sudah bukan jajahan Belanda lagi. Ditambah dengan banyaknya pasal-pasal yang sudah tidak relevan dengan kondisi negara kita saat ini. Sebagai contoh adalah pasal-pasal lese majeste.Pasal-pasal ini mengatur tentang penghinaan terhadap pimpinan Kerajaan Belanda yang mengadopsi sistem monarki. 

Di Belanda sendiri, pasal-pasal tersebut telah usang dan tidak digunakan lagi sekarang. Namun kenyataan yang ada, hasil revisi yang dilakukan oleh pemerintah sendiri masih didapati pasal-pasal yang bersifat cenderung represif dan lebih terkesan 'kolonial' dibanding KUHP asli. Pasal-pasal yang tercantum pada RKUHP hasil revisi terbaru ini, juga terkesan membelenggu kebebasan berpendapat dan substansinya yang terlalu jauh membahas urusan privat.

Ditariknya Kebebasan Kita dalam Berpendapat 

Satu hal yang menuai kontroversi pada RKUHP adalah mengenai dibungkamnya kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Berdasarkan sumber yang saya liput berikut ini adalah pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan salah satu hak asasi manusia ini diantaranya adalah :

1. Dirampasnya kebebesan pers

Kebebasan pers dalam RKUHP telah dilanggar dengan adanya pasal mengenai berita bohong yang diatur pada Pasal 309. Pasal ini mengatur mengenai dapat terjeratnya seseorang yang membuat berita palsu atau bohong dan menyebabkan keonaran di masyarakat. Lalu ada, Pasal 310 tentang dapat terpidananya seseorang jika menyiarkan berita tidak pasti, berlebihan dan tidak lengkap.

Kemudian ada juga Pasal 771 dan 772 mengenai dilarangnya seseorang untuk menerbitkan tulisan atau gambar yang sifatnya dapat dipidana. Pasal ini terlihat sangat mudah dipermainkan karena kurangnya penjelasan mengenai gambar atau informasi seperti apa yang dapat melanggar pidana. Kecendrungan yang mungkin terjadi justru informasi yang dirasa tidak layak bagi suatu kelompok akan mudah dipidanakan.

Dapat terlihat dari pasal-pasal yang ada, profesi wartawan sangatlah rentan terkena dampak jika pasal-pasal tersebut jadi disahkan. Pasal-pasal tersebut dinilai merugikan wartawan karena multitafsir serta rentan penyalahgunaan. Dari sisi hukum sendiri, RKUHP justru sangat bertolak belakang dari isi pasal-pasal yang ada pada UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun