Mohon tunggu...
izzati nikmah
izzati nikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melampaui Statistik: Inilah Pandangan Sosiologi terhadap Masalah Bunuh Diri Anak

30 Desember 2023   15:09 Diperbarui: 30 Desember 2023   15:31 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Statistik yang mencatat tingginya angka bunuh diri anak memberikan gambaran yang menghancurkan, namun menjadi kewajiban kita untuk menggali lebih dalam. Pendekatan sosiologis memungkinkan kita untuk melihat melampaui angka dan mencari akar masalah dalam kerangka sosial. Apakah ada pola tertentu yang muncul dalam masyarakat atau lingkungan tertentu?

Dilansir dari Kompas.id pada Selasa (26/9/2023), SR (13 tahun) Siswi Sekolah Dasar Negeri 6 Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, kehilangan nyawa setelah jatuh dari lantai empat sekolahnya. Pemicu jatuhnya SR masih didalami oleh aparat terkait. Ada dugaan kuat ia bunuh diri. Begitupula dengan, Aksi bunuh diri anak SD ini terjadi di Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng), yang dilansir oleh detikbali (22/11/2023. Aksi nekat bocah SD itu diduga dipicu karena dilarang bermain HP. 

Kasus-kasus ini kemudian turut dikaitkan dengan bunuh diri anak di sepanjang tahun 2023 yang tercatat sudah menyentuh 20 kejadian seperti halnya yang disampaikan Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Diperkuat dengan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang menyebutkan, terdapat peningkatan kasus sebesar 10 persen lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu. Cara bunuh diri yang paling sering dilakukan adalah dengan melompat dari gedung, gantung diri, maupun menyayat urat nadi. Sedangkan beberapa faktor penyebabnya antara lain, yakni, perundungan, ekonomi keluarga, penelantaran, asmara di antara remaja, pelecehan fisik, dan juga emosional sesaat anak.

Salah satu fokus utama dalam analisis sosiologis adalah peran keluarga dan struktur sosial. Keluarga sebagai agen sosialisasi utama seringkali menjadi tempat pertama anak mengembangkan identitas sosial dan nilai-nilai. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah tekanan dari keluarga atau perubahan dalam struktur keluarga dapat memengaruhi kecenderungan bunuh diri anak? Penelitian sosiologis menunjukkan bahwa anak-anak dari lapisan sosial yang lebih rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kesulitan psikologis yang dapat berkembang menjadi niat bunuh diri.

Dalam melihat fenomena ini, pandangan sosiologis menawarkan sudut pandang yang kaya akan konteks sosial, norma-norma, dan struktur yang memberikan pemahaman mendalam terhadap kompleksitas masalah ini. Sebagai suatu fenomena sosial, bunuh diri anak tidak dapat dipahami secara memadai hanya melalui data angka dan fakta medis. Sosiologi, sebagai ilmu yang memeriksa hubungan dan struktur sosial, dapat membantu kita memahami konteks dan faktor-faktor sosial yang mungkin berperan dalam meningkatnya kejadian bunuh diri anak. Pertama-tama, penting untuk mencermati peran keluarga dalam konteks ini. Sosiologi menyoroti bagaimana dinamika keluarga, kestabilan rumah tangga, dan tingkat dukungan emosional dapat memainkan peran kunci dalam kesejahteraan mental anak-anak. Melalui lensa sosiologis, kita dapat melihat bahwa tekanan dalam hubungan keluarga, ketidaksetaraan, dan disfungsi keluarga dapat menjadi faktor risiko yang signifikan. Pentingnya pemahaman akan tekanan sosial juga tidak boleh diabaikan. Sosiologi memperkenalkan konsep tekanan sosial sebagai suatu kekuatan yang bisa mempengaruhi individu dan kelompok dalam masyarakat. Keterkucilan, pelecehan, atau diskriminasi di sekolah atau komunitas dapat menciptakan tekanan yang mengarah pada keputusan drastis seperti bunuh diri. Dengan memahami tekanan sosial ini, kita dapat merancang strategi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan inklusif.

Selain itu, norma-norma sosial turut memainkan peran penting. Sosiologi memungkinkan kita untuk melihat bagaimana norma-norma masyarakat dapat mempengaruhi persepsi diri anak-anak. Ketidaksesuaian dengan norma sosial tertentu, terutama yang berkaitan dengan identitas gender, orientasi seksual, atau kesehatan mental, dapat memicu tekanan tambahan yang dapat berujung pada tindakan bunuh diri. Penting untuk diakui bahwa masalah bunuh diri anak tidak hanya berkaitan dengan faktor individu, tetapi juga terkait erat dengan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Sosiologi membuka mata kita terhadap kenyataan bahwa anak-anak dari lapisan masyarakat yang kurang mampu atau yang menghadapi ketidaksetaraan ekonomi lebih rentan terhadap tekanan dan stresors yang dapat memicu tindakan bunuh diri. Dengan memahami hubungan antara ketidaksetaraan dan bunuh diri anak, kita dapat mengadvokasi kebijakan yang bertujuan mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi.

Sosiologi juga menyoroti bagaimana media sosial dan perkembangan teknologi berkontribusi terhadap fenomena bunuh diri anak. Teknologi yang terus berkembang dapat memberikan tekanan tambahan pada anak-anak yang mungkin mengalami perundungan daring atau eksposur terhadap konten yang merugikan secara mental. Melalui pemahaman sosiologis terhadap peran media dan teknologi, kita dapat mengembangkan strategi untuk mendidik dan melindungi anak-anak di era digital ini. Selain itu, institusi-institusi seperti pendidikan juga memainkan peran penting dalam pemahaman sosiologis terhadap bunuh diri anak. Sosiologi menyoroti bahwa tekanan akademis yang berlebihan, persaingan yang tidak sehat, dan kurangnya dukungan emosional di lingkungan sekolah dapat berkontribusi pada risiko bunuh diri anak. Dengan memahami dinamika sosial dalam institusi pendidikan, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung dan mempromosikan kesejahteraan mental.

Penting untuk dicatat bahwa pandangan sosiologis bukanlah upaya untuk mengurangi kompleksitas masalah ini menjadi satu jawaban sederhana. Sebaliknya, pendekatan sosiologis menciptakan landasan yang kuat untuk mengatasi masalah bunuh diri anak secara holistik. Dengan memahami kerangka sosial yang melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat, dan norma-norma sosial, kita dapat merancang intervensi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Sebagai masyarakat, kita ditantang untuk melampaui statistik dan melihat fenomena bunuh diri anak melalui lensa sosiologis. Sosiologi memberikan alat untuk memahami akar permasalahan ini dan membangun masyarakat yang lebih peduli, inklusif, dan mendukung perkembangan anak-anak menuju masa depan yang lebih cerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun