Mohon tunggu...
Izzatiddiena NurSafira
Izzatiddiena NurSafira Mohon Tunggu... Foto/Videografer - no longer sitting on a high school bench

trust no one but Allah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Batu

31 Oktober 2021   19:34 Diperbarui: 31 Oktober 2021   19:38 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu itu, 2012. Saya masih berusia 8 tahun. Bocah, hobi main, tidak suka tidur siang, bandel. Cocok untuk menggambarkan saya. 

Pada tahun itu juga, rumah tempat saya tinggal direnovasi. Setelah sekian tahun bergelimang dengan atap bocor dan kamar yang sempit, akhirnya kami menyerah dan memutuskan untuk merenovasinya, renovasi total. Proses renovasinya berjalan lancar, dimulai dari penghancuran konstruksi sebelumnya, penyusunan kembali, atau apapun itu istilahnya. Semua lancar. Tetapi ada satu peristiwa dalam seluruh rangkaian renovasi yang tidak bisa dibilang menyedihkan, tapi juga bukan peristiwa menyenangkan. Mari sebut peristiwa itu, peristiwa nano-nano.

Peristiwa nano-nano itu terjadi sesaat setelah proses penghancuran konstruksi lama dilakukan, seperti layaknya renovasi, berbagai bahan bangunan seperti pasir, batu kerikil, dan batu fondasi. Itu lho, batu yang ujungnya tajam dan berukuran besar. 

Siang itu, saya pergi ke rumah renovasi yang belum jadi itu, untuk menemui Ibu saya. Saya ingin dibuatkan mie. Jarak antara rumah yang sementara saya tinggali dengan rumah renovasi itu dekat, hanya berjarak beberapa rumah. Maka saya pergi, dengan perasaan riang gembira. Sesampainya di tempat itu saya melihat Ibu sedang bercakap-cakap dengan seorang mandor. Dari kejauhan beliau berteriak, "Jangan kesini, banyak batu!" tapi entah kuping saya sedang tertutup atau memang dasarnya saya bandel, saya teruskan langkah saya melewati hamparan pasir dan batu bata. 

Saya berdiri di atas kayu dekat tumpukan batu fondasi, berjarak 2 meter dengan Ibu saya, dan berkata dengan sedikit berteriak, "Mau buatkan mie go-". Belum sempat saya selesaikan kalimat saya, kayu yang saya jadikan tumpuan mendadak goyang karena saya tidak bisa diam, jadilah saya limbung, tangan saya berusaha menggapai apapun agar saya tidak jatuh, tapi akibatnya, tangan kiri saya malah terkena pinggiran batu fondasi. Beruntung saya tidak terjatuh. Sepersekian detik saya diam. Tidak terasa apa-apa, saya menepukkan kedua tangan untuk membersihkan tangan saya dari debu sambil tertawa kecil. 

Ibu dan mandor yang melihat kejadian tersebut menghampiri saya, Ibu mengangkat tangan saya dan barulah saya sadar tangan kiri saya tersayat batu fondasi, darahnya mengucur deras. Saat itu juga rasa sakitnya baru terasa. Saya menangis dengan kencang sementara Ibu dengan sedikit panik mengangkat saya keluar daerah konstruksi. 

Saya masih menangis kencang saat Ibu membawa saya ke bu Bidan depan rumah, saya ingat saat itu darah saya menetes di lantai rumahnya. Saya dibawa masuk ke ruang praktek, dan hal yang paling saya ingat adalah, "AKU NGGAK MAU DISUNTIK!" saya berteriak sambil meronta saat melihat bu Bidan mengeluarkan jarum suntik. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Hanya saya duduk sendiri makan permen kaki (saya lupa nama merk nya) dengan tangan kiri diperban. Ibu berkosultasi dengan bu Bidan. Kata bu Bidan, luka di tangan kiri saya itu dalam, hampir memotong nadi, untung saja agak meleset. Allah masih menyelamatkan saya hari itu. Alhamdulillah. 

Lukanya tidak dijahit karena saya takut jarum, dan proses penyembuhannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Dalam jangka waktu itu pula Ibu berkali-kali mengomeli saya tentang peristiwa nano-nano itu saat beliau mengganti perban saya. Sepertinya butuh dua bulan hingga luka itu kering sempurna. 

Dulu saya ingat sering memamerkan luka itu kepada teman-teman SD saya, sambil berkelakar bahwa lukanya dijahit. Padahal melihat jarum suntik saja hatinya sudah loyo. Hebatnya mereka juga percaya. Sampai saat ini, lukanya masih membekas di tangan kiri saya. Saya juga sedikit menghindari berdekatan dengan batu fondasi kalau-kalau sedang pergi ke lokasi konstruksi. 

Bekas luka tersebut saya jadikan kenangan akan peristiwa nano-nano itu, menjadi simbol betapa besar rasa sayang Allah kepada saya. Agak aneh memang, tetapi mengingat betapa nyaris Malaikat Izrail menjemput saya hari itu, rasanya masuk akal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun