Mohon tunggu...
Izzati Annisa
Izzati Annisa Mohon Tunggu... -

Mencoba berbagi dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebut Saja Namanya Zahra

20 Agustus 2014   04:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:05 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini adalah kisah seorang lulusan S1 Akuntansi Universitas Syiah Kuala, sebut saja namanya Zahra (Nama Bunga terlalu mainstream). Sebagai mahasiswi Fakultas Ekonomi yang katanya modis, ternyata penampilan Zahra malah biasa saja, tapi tetap manis dengan padu padan pakaian sederhananya. Dia mengawali perjalanannya di kampus ‘jantong hatee rakyat Aceh’ itu sejak tahun 2008. Sedikit lebih cepat beberapa bulan dari mahasiswa angkatan 2008 kebanyakan karena ia harus menghadiri kelas matrikulasi, sebuah kelas persamaan bagi calon mahasiswa yang diterima melalui jalur undangan. Jalur penerimaan mahasiswa baru yang membuat Zahra tak perlu bersusah-susah belajar di bimbingan belajar, mengantri pembayaran dan pendaftaran, dan segala keribetan SPMB yang sangat mainstream kala itu.

Takdir yang harus dijalaninya di sana berawal dari sebuah keputusan berat yang penuh airmata bagi Zahra. Bagaimana tidak, saat jiwa sedang labil-labilnya di masa SMA, Zahra yang mempunyai kesempatan untuk berkuliah di Universitas Indonesia akhirnya harus merelakan begitu saja peluang yang datang itu. Belum lagi ketika ia harus kembali mengalah setelah lelah berdiskusi dengan keluarganya tentang jurusan Teknik yang ingin ia geluti. Tapi belakangan Zahra sadar, ternyata saat itu ia hanyalah anak baru gede yang sedang bimbang dengan pilihan dan tujuan hidupnya, yang masih mementingkan gengsi daripada kebutuhan, yang masih galau menentukan arah, sehingga saran dari keluarganya saat itu, terutama sang Ibu sangatlah jitu. Bahkan amat sangat teramat jitu karena dari sanalah keinginan-keinginannya yang seabrek itu terwujud satu persatu.

Menjadi seorang mahasiswi di jurusan dan kampus yang bukan impiannya itu membuat Zahra sedikit harus beradaptasi dengan hati. Ketika datang godaan dan kesulitan, ketika iri melihat teman-teman yang kuliah di jurusan idaman, atau di kampus lainnya di luar Aceh, ketika kembali ke sekolahnya saat lebaran dan bersilaturrahmi dengan guru-guru yang kebanyakan lebih menghargai mereka yang kuliah di luar Aceh ataupun Fakultas Kedokteran atau Teknik, membuatnya serasa ingin berteriak dan mengumumkan pada dunia, “Tahukah kalian, hati ini tercabik, diri ini mungkin mampu tapi tak bisa, lalu pantaskah aku menerima semuanya”. Tapi ternyata ia hanya bisa mengeraskan hati untuk tak perduli dengan diam dan tersenyum saja.

Waktu demi waktu berlalu, akhirnya Allah mulai menunjukkan kuasa-Nya pada Zahra. Zahra pun kini sudah senang dengan suasana kampusnya karena ia punya teman-teman yang luar biasa. Zahra pun sudah mulai bersungguh-sungguh belajar hingga beberapa kali Zahra berhasil meraih IP 4,00 di beberapa semester hingga pada akhirnya angka 3,92 tersenyum pada transkrip nilainya hingga kini. Meskipun begitu, bukan hal mudah mencapai hal itu. Bagi Zahra, ada saja cobaan yang harus ia terima. Mulai dari bisik-bisik yang mengatakan bahwa mudah kok dapat IPK segitu, wong dia kuliah di Ekonomi, ga susah2 amat lah dibandingkan di Teknik. Kemudian tentang beberapa petuah dari senior yang mengatakan bahwa ada dosen2-dosen tertentu yang hobi sekali memberi nilai C, paling banter dapat B yang ternyata menguji keimanan Zahra, keyakinannya tentang janji Allah yang akan memberi sesuatu sesuai usaha dan juga bagaimana Zahra harus menepis itu semua agar ia berpositif thinking kepada dosen-dosennya bahwa mereka tidak seburuk yang dikabarkan. Dan yang paling menguji dan menggoda iman adalah bagaimana ia harus tetap jujur di setiap ujian karena Zahra ingin nilainya itu murni pemberian Allah melalui dosen dengan usaha yang halal di tengah-tengah paradigma saat itu bahwa menyontek itu biasa.

Ada sebuah cerita yang benar-benar terkesan pada seorang Zahra. Ia pernah mendapat fitnah kalau ia adalah mahasiswi yang tamak nilai, masa mengulang mata kuliah nilai B untuk mendapat A, benar-benar tidak bersyukur! Kurang lebih begitu. Padahal, kalau Zahra boleh menjelaskan namun ketika itu ia hanya memilih diam dan hanya menjelaskan bagi orang-orang yang menurut Zahra akan mengerti dengan penjelasannya itu. Ternyata Zahra mengulang mata kuliah tersebut karena Zahra sebelumnya telah salah langkah. Ia tak ingin mengotori transkripnya dengan nilai hasil menyontek. Ia pernah dulu menyontek saat UAN SMA, itupun dilakukannya dengan sangat berat dan harus berperang dengan hati, dan ia tak ingin mengulang untuk kedua kali. Mata kuliah yang diulangnya tersebut adalah mata kuliah yang ia ambil saat semester pendek. Pada saat itu memang ia tidak banyak menyerap ilmu dari mata kuliah itu, dosen yg sudah terlalu senior terlalu banyak menceritakan pengalaman beliau dan sedikit sekali tentang mata kuliah itu menyebabkan Zahra seharusnya belajar mandiri, hal yang sangat malas dilakukan Zahra jika tanpa tugas atau outline yang jelas. Alhasil, pertanyaan-pertanyaan saat ujian membuat Zahra bingung dan akhirnya ikut bersama yang lainnya untuk open book dan saling memberikan jawaban kala itu. Padahal ujiannya close book. Berhari-hari Zahra makan dan tidur tak enak setelahnya. Ada semacam hal mengganjal yang tak mudah dijelaskan di hatinya, semacam pergolakan batin antara membenarkan dan menyalahkan. Mulanya Zahra berencana untuk sit-in saja di semester berikutnya di kelas mata kuliah yang sama dengan dosen berbeda untuk mempertanggungjawabkan nilai B yang tidak murni itu. Tapi kalau sit-in saja, tanpa ada sesuatu yang memotivasinya untuk terus masuk kelas dan bertanggung jawab dengan tugas dan ujian karena cuma duduk dengar saja, rasa-rasanya Zahra akan semangat pada awalnya saja memasuki kelas tersebut yang akhirnya akan malas dengan segudang alasan. Lain halnya jika ia memilih kelas tersebut dalam Kartu Rencana Studinya, tentu ia akan termotivasi untuk belajar lebih dan mau tak mau harus mengerjakan tugas dan ujian agar nilainya kelak bagus. Tak bisa dipungkiri Zahra, nilai yang baik adalah salah satu motivasinya belajar dengan baik. Dan akhirnya Zahra mendapat nilai yang lebih baik dengan cara yang jauh lebih baik, menurut Zahra, itu bonus dari Allah.

Belum cukup sampai disitu, gosip tentang ketamakan Zahra ini kembali mencuat saat Zahra di semester akhir. Gosipnya lebih parah, Zahra kena azab akan ketamakannya. Bagaimana tidak, gara-gara mengulang mata kuliah untuk mendapatkan A, akhirnya Zahra terancam tak bisa meraih gelar cumlaude meskipun IPK nya 3.92 karena pihak universitas mengeluarkan peraturan baru tentang kriteria cumlaude. Mendengar kabar itu, sebagai manusia biasa Zahra pada awalnya memang sedih, belum lagi ada teman-teman yang seperti sengaja menanyakan hal itu padanya. Hampir runtuh pertahanan Zahra, ia mengadu pada Allah tentang itu semua, kenapa di saat ia mencoba bertahan dalam hal yang diajarkan malah ia tak bisa mencicipi sedikit kebahagiaan tentang predikat itu, predikat untuk menyenangkan orang tuanya. Namun ternyata Allah punya rencana luar biasa. Lambat laun, Zahra mulai terbiasa dengan desas-desus yang berhembus, Zahra pun mencoba legowo dengan mendikte pikiran dan hatinya bahwa ia telah melakukan hal benar, kalaupun ia tidak mendapat predikat kebanggaan itu ya sudahlah, toh itu hanya satu atau dua hari saja euforia itu, dan yang jauh paling penting ia berharap telah mendapat predikat lain dari Tuhannya, sebuah predikat yang semoga menjadi kebanggaan manusia-manusia langit. Aamiiin.

Dan ternyata kesabaran Zahra berbuah manis, ketua jurusannya saat itu memperjuangkan agar Zahra bisa mendapat predikat cumlaude dalam rapat bersama fakultas, alasan beliau adalah bahwa peraturan universitas itu baru keluar setelah Zahra selesai mengulang mata kuliahnya, bukan sebelumnya.Allah selalu punya kejutan yang indah bagi hamba-Nya yang mau sedikit bersabar. Selamat Zahra, you won it!

Akhirnya pada saat yudisium dan wisuda kelulusan, Zahra pun termasuk ke dalam daftar mahasiswa cumlaude dan berkahnya lagi ia dipercaya untuk memberikan sepatah dua kata mewakili lulusan Unsyiah kala itu. Zahra telah mendapat rahmat Allah hari itu, ia berhasil membuat orang tuanya bangga dan terharu, orang tua satu-satunya yang masih ia punya.

Lalu jika ada yang bertanya mengapa Zahra begitu kuat dengan prinsipnya tentang kejujuran? Boleh jadi kata Zahra karena itu juga merupakan pesan dari almarhum ayahnya dulu, pesan yang masih ia ingat lekat padahal disampaikan saat ia masih di bangku sekolah dasar oleh ayahnya saat ia curhat. Tapi yang jelas itu semua adalah anugrah Allah pada-Nya.

Kembali ke soal kuasa Allah dan mimpinya yang mulai tercapai. Selama kuliah di Unsyiah, Zahra berhasil beberapa kali keluar kota di Indonesia seperti Medan, Surabaya, Semarang, Bandung, Sulawesi Tengah hingga ke luar negeri, yaitu Jepang dengan kepentingan yang berbeda-beda mulai dari ikut perlombaan, menjadi perwakilan organisasi, menjadi delegasi Aceh, hingga pertukaran pelajar for free. Beberapa pengalaman yang mungkin tidak bisa dicapainya jika ia berkuliah di universitas luar Aceh.

Lalu sekarang kemanakah Zahra? Bukankah ia lulus dengan IPK terbaik, bukankah ia juga punya prestasi lain? Apakah ia sudah bekerja di perusahaan ternama? Atau apa yang ia lakukan saat ini?

Zahra juga manusia biasa. Zahra tidak bekerja di instansi manapun di negeri ini, konon lagi di perusahaan ternama. Ya, Zahra sekarang adalah pengangguran bahkan sudah hampir 2 tahun. Miris? Ya, bisa jadi bagi yang tak mengerti. Zahra juga tidak seterkenal Raeni yang lulus dengan IPK 3,96 yang beberapa waktu lalu menjadi incaran pemburu berita sampai menjadi trending topic di dunia maya dan mendapatkan beasiswa. Jalan Zahra ternyata berbeda, berliku dan tak segampang itu. Namun bagi Zahra, ia punya cerita tersendiri dalam penganggurannya.

Setelah kelulusannya di akhir November 2012, Zahra memutuskan untuk hijrah ke Kampung Inggris di Jawa Timur, ia ingin memantapkan bahasa Inggrisnya karena ia bercita-cita melanjutkan sekolah di luar negeri. Singkat cerita setelah tiga bulan di sana, Zahra memutuskan pulang ke Aceh untuk mengikuti proses seleksi Beasiswa AAS, sebuah beasiswa bergengsi ke Australia. Zahra sangat berharap ia lulus karena sudah banyak sekali tawaran pekerjaan yang ia tolak hanya untuk mengejar mimpinya kuliah ke luar negeri. Ia hanya ingin belajar lagi, memperoleh pengalaman baru lagi, dan menjadi orang yang lebih luas wawasannya. Tak jarang ia harus senyum-senyum tidak jelas saat orang bertanya padanya sudah kerja dimana sekarang atau sedang kuliah ya? Atau bahkan senyum-senyum datar urut dada karena ia di cap orang yang sombong karena tidak mau mengikuti tes kerja terutama CPNS karena memang ia tidak ingin. Lantas, haruskah ia menuruti keinginan publik yang mungkin lebih banyak tak tau tentang dirinya? Sementara ia punya mimpi lain yang telah ia ceritakan pada Tuhan-Nya?

Namun sungguh ternyata Zahra masih sedang diuji, sampai akhir tahun 2013 ia menunggu kabar itu ternyata ia malah mendapatkan sebuah e-mail penolakan. Kecewa, sangat kecewa, itulah yang dirasakan Zahra karena ia nyaris tak mengikuti tes kerja atau tes kuliah dimanapun karena sangat berharap. Namun apa boleh buat, memang belum rejekinya. Setidaknya dalam penantian itu Zahra telah melakukan banyak hal. Ia menjadi runner-up duta bahasa Provinsi Aceh, dan ia ditunjuk untuk menjadi salah satu delegasi pemuda Aceh ke Kalimantan Timur. Hal-hal yang bisa ia lakukan karena ia berstatus pengangguran.

Akhir 2013 ia memutuskan kembali ke Kampung Inggris dengan alasan ingin mengikuti tes IELTS di Surabaya namun sebelumnya ingin mengasah kembali kemampuannya sebentar di Kampung Inggris. Padahal itu juga sebenarnya untuk menghindari saran ibunya untuk kembali melanjutkan studi di Unsyiah karena hampir setahun mimpinya tak ada hasil yang berarti. Niat yang kurang baik akhirnya memang berakhir tidak jelas. Selama kunjungan keduanya di sana, ia malah disibukkan dengan melamar pekerjaan di Jakarta yang ternyata memang tak satupun membuahkan hasil. Hingga akhirnya tawaran beasiswa Pemda Aceh dibuka dan akhirnya ia pulang lagi ke Aceh setelah 3 bulan di Kampung Inggris. Tahap demi tahap seleksi ia lewati, namun tiba di tahap akhir yang harus ia jalani, yaitu wawancara, hatinya harus teriris dengan pernyataan-pernyataan dewan interviewer yang terkesan meremehkannya, menilai rendah usahanya, dan seolah-olah ia ditampar oleh kenyataan bahwa selama ini ia terlalu lalai hingga ia menerima kata-kata yang tidak mengenakkan itu yang membuat Zahra jatuh terpuruk hingga meratapi diri dalam sedu sedannya sekeluarnya ia dari gedung seleksi wawancara, tepat di parkiran gedung itu. Ia sudah tak tahan lagi setelah sebelumnya memasang senyum manis saat keluar ruangan hingga ke parkiran. Senyum palsu agar tak ada yang tahu. Kesedihan yang baginya cukup dalam hingga butuh waktu lebih dari sehari untuk berdamai dengan semua kecamuk pikirannya tentang wawancara itu.

Pengumuman kelulusan pun ditunda. Zahra yang memang sudah tak berharap lagi membuatnya semakin tidak berselera hampir-hampir ia lupa dengan seleksi beasiswa itu. Hingga pada suatu hari, pengumumannya keluar dan ia lulus cadangan. Sebuah status kelulusan yang membuat Zahra semakin saja tak berharap banyak. Belum lagi tak lama setelahnya penerimaan mahasiswa pasca sarjana Unsyiah kembali dibuka dan kali ini Zahra tak lagi dapat menolak keinginan ibunya meski harus setengah hati menjalani semuanya. Ibunya berkata pada Zahra, sudahlah ikut saja, kalaupun nanti Zahra lulus keluar negeri Zahra boleh kok kuliah keluar, yang penting ikut tes yang ini dulu. Sebuah harapan yang tetap Zahra pegang meski sepertinya terkesan sedikit klise. Kenapa sedikit? Karena ibunya masih membiarkan Zahra mengikuti tes IELTS yang demikian mahal itu. Tes kemampuan bahasa inggris yang merupakan salah satu syarat Zahra untuk bisa mendaftar di universitas luar negeri. Sebuah tes yang jika Zahra mendapatkan nilai yang cukup, ia berjanji pada dirinya untuk kembali bersemangat merajut asa.

Akhirnya, dengan niat membahagiakan orang tua, dan dengan harapan kuliah keluar tetap menjadi prioritasnya, Zahra mengikuti tahap seleksi semampunya hingga ia dinyatakan lulus. Tidak tahu harus senang atau sedih, Zahra mengira takdirnya sudah ditentukan. Zahra mulai berdamai lagi, Zahra harus mulai mengumpulkan cukup alasan untuk mengubur dalam-dalam mimpinya ke luar negeri. Bagi Zahra, mungkin ini jalan Tuhan agar ia bisa bertemu jodohnya, mungkin ia memang harus hidup normal dan bekerja sebagai PNS, mungkin disitulah keberkahan ia dapatkan dan mungkin selama ini mimpinya tak pernah kelihatan akan menjadi nyata setelah hampir dua tahun menjaganya karena memang itu mimpi bukan kenyataan seperti yang pernah temannya katakan.

Hey, tapi tahukah kalian, ternyata Zahra masih menyimpan sedikit keisengan berbalut harapan dari perkataan ibunya dulu bahwa ia tetap boleh kuliah keluar meskipun sudah lulus di Unsyiah jika ia bisa mendapatkan beasiswa. Apalagi nilai IELTS Zahra pas-pasan sekali untuk mendaftar kuliah di luar negeri, rasanya sayang kalau begitu saja diabaikan menurut Zahra. Akhirnya selama bulan Ramadhan Zahra berdoa habis-habisan, bersedekah semampunya, dan berusaha. Ia mencoba mendaftar ke universitas luar sebelum tenggat waktu pembayaran biaya kuliah unsyiah berakhir. Beasiswa darimana? Ya, ia masih sedikit menaruh harapan bahwa akan terjadi keajaiban pada status cadangannya di beasiswa Pemda jika ia berhasil mendapatkan Letter of Acceptance dari universitas luar seperti yang pernah disebutkan dalam sosialisasi setelah kelulusan. Oya, Zahra juga kembali mendaftar beasiswa AAS pada tahun ini.

Semangat yang muncul kadang juga terbalut keraguan. Zahra kadang tak yakin dengan keputusannya. Pernah ia menghapus semua data yang telah diisinya di aplikasi online universitas luar karena ia merasa sudah tak mampu. Apalagi biaya kuliah Unsyiah sangat mahal, sayang sekali kalau Cuma kuliah satu semester lalu pindah keluar kalau ia lulus. Universitas luar di negara yang ia targetkan pun kebanyakan intake nya September, sudah mepet sekali rasanya, belum lagi ia belum pasti mendapat beasiswa Pemda dengan status cadangannya. Ada sih satu universitas yang intakenya November, dan akhirnya ia memilih fokus ke satu universitas itu saja, fokus dengan sedikit keraguan tentunya.

Keragu-raguan itulah yang membuatnya malas mengurus berkas yang harus diupload ke situs aplikasi online. Ia malas sekali bertemu dosen dan mencari surat rekomendasi, salah satu dokumen yang harus diupload, ia takut berjumpa orang-orang dengan status penganggurannya. Ia takut menceritakan mimpi-mimpinya, ia takut diremehkan lagi. Hingga pada suatu ketika, entah ide nekat darimana, semacam petunjuk dari Allah, sepulang taraweh seperti biasanya ia mulai membuka aplikasi online itu, dan setelah semuanya lengkap selain surat referensi, ia nekat mengklik tombol submit. Setelah itu ia pasrah. Ia hanya berdoa pada Tuhan jika itu yang terbaik mohon dimudahkan, harapan nekat.

Penghujung Ramadhan, tepatnya sesaat sebelum buka puasa terakhir, Zahra mendapat e-mail dari universitas itu, ia mendapat surat Conditional Offer yang berarti ia diterima di universitas itu dengan melengkapi surat bahwa ia mendapat sponsor atau mampu membayar deposit yang disebutkan. Zahra luar biasa bahagia, ia belum pernah sebahagia itu menyambut malam takbiran kemenangan, bahkan perut yang daritadi kosong rasanya cukup diisi dengan air putih saja, selebihnya ia tak selera menyentuh makanan.

Lalu, sudah selesaikah? Zahra ternyata harus memastikan status cadangannya. Artinya ia harus bersabar sekitar seminggu lagi untuk memastikan semuanya hingga kantor kembali aktif. Senin itu, saat semua aktivitas perkantoran normal lagi, ia segera menuju kantor Gubernur dengan mempersiapkan diri untuk bahagia atau kecewa. Kakak yang bertugas di bagian pengurusan beasiswa ternyata tak bisa memastikan sebelum beliau berkonsultasi dengan atasan, apalagi semua penerima beasiswa dengan status murni tidak ada yang membatalkan status mereka. Hmm, sungguh sebuah kenyataan yang harus diterima Zahra dengan lapang dada.

Hari itu, ternyata atasan yang disebutkan kakak tadi masuk kantor. Setelah selesai berdiskusi dengan atasannya, kakak itu mengabari Zahra bahwa atasannya berkata terima saja semua yang lulus cadangan jika ia mempunyai LoA, kita juga sedang bekerjasama dengan pihak pemerintah luar negeri yang dituju terkait beasiswa.

Tak pelak hati Zahra langsung berdesir sembari tak berhenti berzikir Alhamdulillaah. Sebuah penantian panjang sekali seperti ular naga yang panjangnya bukan kepalang.

Ternyata, tak sampai disitu saja perjuangan yang harus ditempuh Zahra, masih ada beberapa jengkal lagi sampai ia benar-benar officially kuliah di luar negeri. Pertama ia harus memastikan ia mendapatkan Unconditional Offer Letter, lalu setelah itu nomor CAS untuk pengurusan visa, dan visa itu sendiri. Dalam tahap itu, juga ada beberapa rintangan kecil yang harus ia dapati yang diiringi dengan ada saja pertolongan Allah dari mana saja. Namun bukan Zahra namanya jika ia berhenti berharap dari rahmat Allah setelah sejauh ini ia melangkah, ia terus berdoa, berusaha, hingga saat ini ia sedang dalam tahap aplikasi visa. Doakan saja semoga mimpi Zahra segera menjadi nyata.

Itulah kisah seseorang yang sebut saja namanya Zahra, kisah ini bisa jadi nyata atau hanya karangan penulis belaka. Bagi yang percaya kisah ini nyata, bagi yang bertanya sekarang Zahra sedang apa dimana, mungkin ia sedang bersama kalian menyeruput secangkir kopi, atau mungkin ia ada di list pertemanan kalian di dunia maya jika kalian tak sedang bersamanya di dunia nyata. Bagi yang menganggap ini hanya karangan saja, penulis hanya berharap semoga akan muncul Zahra-Zahra seperti ini atau lebih baik lagi di kehidupan nyata. Aamiiin.

Blang Krueng, 19 Agustus 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun