Di zaman serba digital ini, tak hanya cara kita memandang dunia yang mengalami perubahan, tetapi juga bagaimana kita mengelola keuangan pribadi---terutama ketika kecemasan akan 'kehilangan' (FOMO) menjadi penggerak utama dalam setiap keputusan pembelian. Fenomena ini semakin terasa, terutama di kalangan generasi Z, yang tumbuh bersama media sosial dan terpapar informasi secara real-time.
Sebenarnya apa itu FOMO?
FOMO merupakan akronim atau singkatan dari Fear of Missing Out, istilah bahasa inggris yang merujuk pada kecenderungan seorang individu untuk merasa takut tertinggal dalam suatu tren yang sedang terjadi. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 2004 oleh Patrick McGinnis, dan menjadi sebuah kata yang populer pada awal 2020-an seiring berkembangnya teknologi dan juga meningkatnya pengguna di media sosial.
Seseorang akan lebih mudah mengalami FOMO dalam era media sosial dan konektivitas digital. Mereka akan dengan mudah mengamati dan membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan orang lain. Misalnya seorang individu ketika melihat temannya yang aktif dalam kegiatan akademik, mengikuti sebuah acara, atau membagikan momen bahagia mereka lewat media sosial, mereka dapat merasa takut ketinggalan dan kehilangan kesempatan untuk terlibat.
Saat seseorang mengalami FOMO, mereka akan berusaha untuk memantau fenomena sosial yang terjadi dan berusaha untuk terlibat ke dalamnya, agar tidak merasa terpinggirkan.Â
Namun, apa jadinya jika FOMO ini mulai memengaruhi perilaku konsumtif seseorang? Bagaimana rasa takut tertinggal ini bisa mengubah pola pikir mereka dalam memilih barang atau jasa yang mereka beli?
Ketika seseorang FOMO, mereka akan membeli sesuatu dengan tidak terencana. Pembelian tidak terencana ini dilakukan tanpa adanya pertimbangan yang panjang, hanya karena dorongan untuk segera ikut dalam tren atau mendapatkan barang yang terbatas.
Pada akhirnya tren FOMO ini akan menimbulkan perilaku impulsif. Keinginan untuk segera memiliki barang yang saat itu sedang diskon atau viral akan membuat logika kita tidak berjalan semestinya.
Meski tampak sepele, dampak signifikan yang pasti akan terjadi adalah terkurasnya anggaran bulanan. Tanpa disadari, pembelian-pembelian tersebut menumpuk dan akhirnya membuat dompet menipis, bahkan menyebabkan pengeluaran yang jauh melebihi apa yang benar-benar dibutuhkan. Selain membuat dompet menipis, tak jarang perilaku FOMO untuk membeli sesuatu secara tak direncanakan ini juga berdampak pada tergesernya prioritas keuangan, seperti tabungan darurat atau investasi untuk masa depan.
Maka dari itu, penting untuk kita menyadari akan dampak FOMO pada keputusan finansial agar kita bisa lebih bijak dalam memilih mana yang benar-benar dibutuhkan dan mana yang hanya dipicu oleh ketakutan untuk melewatkan sesuatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H