Hatinya kaku supaya tidak ada lelaki yang bisa menyentuhnya. Memang dibuat demikian hingga tiba-tiba ada yang mencoba mencekalnya.
Ironis memang. Sudah seminggu lalu telah berjalan. Di sini masih teringat berbondong-bondong di teras memutahkan orang-orang. Aku hampir menangis saat itu, tapi aku jantan! jadi agak berkaca-kaca.
Supaya lebih jelas keadaannya aku memaksa untuk sedikit mencubit pergelangan tangan Bu Dewi yang menghalangi pandanganku. Berteriaklah Bu Dewi dan melengok, aku melihat celah lalu masuk. Aku mengabaikan kekejaman mata ibu-ibu di situ saat aku mulai duduk di sampingnya.
Mana berani aku menyentuhnya, melihat saja agak was-was. Tapi meskipun ia di sampingku, aku tidak berani. Entahlah.
Perkenalkan, Aku Bagas Agung. Panggil saja Agung. Intinya aku sudah dewasa secara batin dan jasmani. Untuk itu berani mencintai wanita
Santai saja, aku hanya bisa memandanginya sedekat matahari. Terlalu berlebihan tapi bagiku tidak apa-apa sebab aku tidak mengganggu pernapasanmu.
Sudahlah. Aku tiba-tiba menangis sebab dengan jelas dia ada di sampingku tapi tidak mampu bicara. Patung sekali tubuhnya.
Patung apa yang diikat bagian atas, bagian tangan, kedua kaki?. Tidak ada. Hanya Hapsah yang begitu. Hobi barunya mungkin.
Mencoba peruntukan mungkin bisa bangun, bisikku, “Hapsah, bangun,” tidak ada jawaban, owalah masih sama seperti 30 menit yang lalu.
Akan kutarik perlahan, sampai kalian paham bagaimana batin ini mampu bicara.