Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, telah memasuki babak dimana kehidupan normal baru dimulai. Hal ini tentu mengimplikasi dunia pendidikan.Â
Kita masih ingat ketika awal pandemi merebak, pemerintah menetapkan kebijakan belajar dari rumah dengan metode pembelajaran jarak jauh berbantuan teknologi daring. Kebijakan itu juga tidak terlepas dari berbagai polemik, mulai dari terhambatnya pembelajaran, minimnya peran guru, sampai protes dari para orang tua.Â
Kaitannya dengan hasil belajar, pembelajaran daring di rumah dinilai tidak lebih efektif daripada pembelajaran di sekolah, terutama pada pembelajaran eksakta (Sutriyani, 2020). Selain itu, pembelajaran daring menurunkan motivasi belajar peserta didik (Pratama, 2021).
Kemudian pada awal tahun ajaran baru 2021/2022 lalu, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan pembelajaran tatap muka terbatas. Artinya, peralihan pembelajaran dari daring ke luring dengan pengawasan ketat dan dengan pemenuhan standar protokol kesehatan yang berlaku.Â
Para peserta didik berkesempatan belajar lagi di kelas meski terbatas dari segi kehadiran dan keefektifan pembelajaran. Kabar ini setidaknya mampu menjadi obat bagi para peserta didik yang rindu akan pembelajaran di sekolah.
Namun, tidak memungkiri situasi peralihan tersebut mengakibatkan disrupsi tatanan pendidikan. Saat belajar daring, para peserta didik mau tidak mau harus menggunakan gawai, seperti handphone, laptop, dan piranti elektronik penunjang lainnya.Â
Ketika pembelajaran berangsur-angsur kembali seperti sedia kala, tentuperaturan sekolah yang melarang penggunaan gadget di lingkungan sekolah menjadi anomali.Â
Kondisi keberterimaan psikologi para peserta didik yang dilepaskan dari peran gadget cenderung membuat pembelajaran menjadi kurang menarik.
Hal ini berkaitan dengan gaya belajar peserta didik. Menurut Anggrawan (2019) pembelajaran daring yang menampilkan ceramah dan demonstrasi berwujud gambar efektif bagi mereka yang memiliki gaya belajar auditori dan visual. Namun, pada gaya belajar kinestetik memerlukan praktik yang melibatkan gerak tubuh.Â
Strategi pembelajaran tatap muka ini seharusnya mampu membangkitkan semangat belajar peserta didik di semua model gaya belajar. Gagasan untuk menghadirkan suasana belajar yang nyaman dan sesuai dengan keahlian abad 21 adalah dengan metode pembelajaran model joyful learning dengan basis creativity.
Di awal penerapan pembelajaran tatap muka, tidak jarang kita jumpai istilah blended learning yang kemudian dipraktikkan secara masif di berbagai jenjang pendidikan. Istilah ini sebenarnya sudah muncul sebelum pandemi bermula, sudah ada sejak tahun 2018. Namun, semakin popular saat isu pendidikan mencuat kala pandemi.Â
Kaitan blended learning dengan joyful learning terletak pada pemusatan pembelajaran ke peserta didik. Selain itu, keduanya sama-sama meletakkan kemampuan peserta didik bereksplorasi terkait topik-topik pembelajaran.Â
Sistemnya, peserta didik dapat mempelajari materi secara mandiri dan leluasa. Mereka dapat berkomunikasi dengan pendidik atau peserta didik lain di luar jam belajar di kelas (Kusairi dalam Husamah, 2014).
Joyful Learning merupakan model pembelajaran yang sudah sering ditawarkan untuk membentuk suasana kelas yang lebih hidup. Selain itu, model ini bertujuan pada pemusatan pembelajaran pada para peserta didik. Peserta didik dapat mengoptimalkan dirinya aktif di dalam kelas, menyampaikan gagasan, dan mengutarakan apa yang telah mereka pelajari.Â
Joyful Learning merupakan model pembelajaran yang mengolaborasikan antara konsep dan praktik, menggunakan media pembelajaran yang menarik, dan menekankan unsur inner motivation (motivasi mendalam) sehingga dapat membangkitkan rasa keingintahuan peserta didik (Arafat & Pali, 2021).
Pada model pembelajaran Joyful Learning ini banyak menerapkan media kreatif, salah satunya picture cards (Wahyudi & Marwiyanti, 2017). Ada juga penerapan game based learning yang tentu mengedepankan suasana gembira dalam belajar. Para peserta didik diharapkan dapat beradaptasi kembali dengan pembelajaran tatap muka melalui kolaborasi teknologi dan kreativitas.Â
Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pembelajaran tatap muka saat ini menjelma sebagai sebuah kebiasaan baru. Padahal, sejatinya pembelajaran tatap muka adalah model pembelajaran tradisional.
Namun, kehidupan normal baru ini mengharuskan para peserta didik kembali memosisikan diri mereka menerima pembelajaran tatap muka.
Seperti yang diirlis oleh Kemendikbud (2017), kompetensi yang harus dimiliki peserta didik di abad 21 yang disebut dengan 4C, yaitu critical thingking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), creativity (kreativitas), communication skills (kemampuan berkomunikasi), collaboratively (kemampuan berkolaborasi).Â
Namun, kemampuan itu juga harus diarahkan kepada para guru di sekolah. Guru sudah seharusnya memiliki kecakapan dalam mengembangkan kecakapan 4C itu. Para konselor pendidikan pun turut dituntut untuk memenuhi kualifikasi kecakapan abad 21 tersebut (Suryawati et al., 2021).
Kreativitas diartikan sebagai kemampuan menciptakan gagasan yang baru atau modifikasi dari gagasan yang sudah ada (Pentury, 2017). Untuk menghasilkan model pembelajaran yang kreatif, seorang guru dapat menciptakan strategi belajar yang tepat terhadap kondisi para peserta didiknya.Â
Pembelajaran kreatif akan lebih efektif jika menghasilkan kegiatan produktif. Pembelajaran kreatif produktif memiliki beberapa ciri, yaitu 1) keterlibatan peserta didik secara intelektual dalam pembelajaran; 2) peserta didik didorong untuk membangun konsep yang mereka dapatkan melalui penafsiran teori dari hasil observasi, diskusi, atau percobaan yang mereka lakukan; 3) peserta didik dapat mengungkapkan pemahaman terkait topik pembelajaran dengan cara mereka sendiri (Suryosubroto dalam Pentury, 2017).
Fenomena yang terjadi pada pendidikan Indonesia saat ini adalah para guru (kognitif) terlalu mengedepankan nilai. Namun, hal ini tidak berlaku bagi para guru kreatif yang justru bercerita mengenai kehidupan, bukan sekadar soft skills ataupun hard skills (Kasali, 2017).Â
Pembelajaran kreatif erat kaitannya dengan implikasi melepaskan para peserta didik dari belenggu. Klimaks dari pembelajaran kreatif adalah bertujuan untuk membentuk kepribadian peserta didik yang berhasil di masyarakat. Mereka bukan sebagai wujud pemenuhan kebutuhan profesi, melainkan menjadi mnusia yang seutuhnya. Paulo Freire mengatakan, pendidikan sejatinya bertujuan untuk memanusiakan manusia.Â
Pemanusiaan itu bisa dicapai jika mereka dikenalkan kembali dengan jati diri mereka, melalui life skills yang sepenuhnya diperlukan untuk menghadapi tantangan hidup.
Model joyful learning yang dikolaborasikan dengan kemampuan menciptakan kreativitas adalah dengan membuka pintu kedalaman berpikir peserta didik. Dalam capaian secara akademik, nilai akan tetap diberikan sebagai nilai proses. Berikut ini yang dapat diterapkan dalam pembelajaran joyful learning berbasis creativity.
Alur Pembelajaran Joyful Learning (Dokpri)
Seperti yang telah disebutkan, peserta didik dapat belajar sebanyak-banyaknya di luar jam belajar di sekolah. Untuk menumbuhkan kesadaran belajar, hendaknya dilakukan dengan bijak karena latar belakang riwayat perjalanan pendidikan mereka tentu berbeda.Â
Setiap peserta didik merupakan individu yang unik. Untuk itu, pemahaman akan keadaan mereka sangat diperlukan dalam rangka menciptakan suasana belajar yang joy.Â
Fase ketika peserta didik membawa hasil belajarnya ke sekolah merupakan situasi sekolah sebagai ruang diskusi untuk memecahkan masalah. Namun, model pembelajaran dapat dicampur antara diskusi, ceramah, dan praktik.
Kolaborasi model tersebut mendukung situasi pembelajaran yang aktif sehingga mampu meningkatkan motivasi belajar. Perlu digarisbawahi, joyful learning seharusnya dipahami secara luas, bukan hanya sekadar pembelajaran yang selalu dikelilingi lelucon, bernyanyi, tepuk-tepuk, atau segenap keadaan yang meriah (Musbhirah et al., 2018).Â
Sementara maksud dari dorongan atau motivasi belajar yang terbentuk adalah ketika peserta didik terdorong untuk mencari tahu apa yang menjadi keingintahuan mereka (Jauhar, 2011).Â
Ada beberapa komponen dalam pelaksanaan model pembelajaran berbasis kreatif ini, yaitu fase mengalami, interaksi, komunikasi, dan refleksi (Asmani, 2014).
Penerapan media digital dalam model pembelajaran ini dinilai efektif karena pembelajaran dikemas dengan menarik. Para peserta didik akan lebih mudah memahami materi, senang belajar, dan mampu memahaminya secara mendalam. Penilaian yang diberikan merupakan bagian dari proses mereka belajar. Penilaian menjadi apresiasi kepada mereka karena telah belajar dan berproses.
Dengan demikian, model joyful learning berbasis creativity merupakan gagasan untuk menciptakan iklim pembelajaran yang semakin baik, terlebih lagi sebagai upaya memulihkan situasi pembelajaran di era normal baru ini. Segala pergeseran sistem pembelajaran disertai dengan digitalisasi menunjukkan betapa diperlukannya kecakapan hidup abad saat ini, abad 21.Â
Salah satu komponen kecakapan itu adalah creativity, yang mana sekarang menjadi urgensi untuk dikembangkan pada diri peserta didik yang merupakan generasi muda. Para guru dapat menerapkan model pembelajaran ini untuk mencapai konteks pemikiran mendalam dalam diri peserta didik demi menyongsong era kreativitas yang sangat dibutuhkan ketika mereka terjun ke masyarakat.
Artikel ini merupakan perwujudan investasi ilmu mata kuliah Ilmu Pendidikan Prodi Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret yang dibimbing oleh Dr. Ribut Purwaningrum, M. Pd.
Rujukan
Anggrawan, A. (2019). Analisis Deskriptif Hasil Belajar Pembelajaran Tatap Muka dan Pembelajaran Daring Menurut Gaya Belajar Mahasiswa. Jurnal MATRIK, 18(2), 339—346.
Arafat, S. & Pali, A. (2021). Joyful Learning Berbasis Picture Cards Meningkatkan Minat Belajar Siswa pada Pembelajaran IPS di Era New Normal. Jurnal Mimbar PGSD Undiksha, 9(1), 180—187.
Asmani, J. (2014). 7 Tips PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Yogyakarta: DIVA Press.
Husamah. (2014). Pembelajaran Bauran (Blended Learning) Terampil Memadukan Keunggulan Pembelajaran Face-To-Face, E-Leaarning, Offline-Online, dan Mobile Learning. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Jauhar, M. (2011). Implementasi PAIKEM dari Behavioristik sampai Konstruktivistik Sebuah Pengembangan Pembelajaran Berbasis CTL (Contextual Teaching & Learning). Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Kasali, R. (2017). Strawberry Generation. Bandung: PT Mizan Pustaka.Â
Kemendikbud. (2017). Pendidikan Karakter Dorong Tumbuhnya Kompetensi Siswa Abad 21. Tersedia di www.kemdikbud.go.id (diakses pada tanggal 26 Desember 2021).
Musbhirah, Q. U. et al. (2018). Pengaruh Model Pembelajaran Joyful Learning dengan Media Kartu Aksi terhadap Hasil Belajar Kimia Materi Koloid pada Siswa Kelas XI MIA MAN 2 Model Mataram. Chemistry Education Practice, 1(1), 2654— 8119.
Pentury, H. J. (2017). Pengembangan Kreativitas Guru dalam Pembelajaran Kreatif Pelajaran Bahasa Inggris. Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan, 4, 265—272.
Pratama, A. P. (2021). Pengaruh Pembelajaran Daring terhadap Motivasi Belajar Siswa SD. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 2(1), 88—95.
Sutriyani, W. (2020). Studi Pengaruh Daring Learning terhadap Minat dan Hasil Belajar Matematika Mahasiswa PGSD Era Pandemi Covid-19. Jurnal Tunas Nusantara, 2(1), 155—165.
Suryawati et al. (2021). Internet of Things (IoT) Baed Counsellor Skills 21st Century. KONSELI: Jurnal Bimbingan dan Konseling, 8(2), 161—168.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H