Di beberapa negara, salah satunya Norwegia terdapat beberapa program yang berguna untuk mencegah terjadinya peristiwa perundungan: oleh pemerintah Norwegia program tersebut dinamakan Olweus Bullying Prevention Bullying (OBPP). Terdapat 4 prinsip yang dipegang teguh dalam OBPP, yaitu orang dewasa yang berada di sekolah harus menunjukkan kehangatan dan kepentingan terhadap murid-murid, meletakkan batas ketegasan terhadap perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, konsisten menghindari perilaku menghukum yang menimbulkan konsekuensi negatif dan bersifat merusak, dan bertindak sebagai model yang dapat ditiru. Sementara itu, pemerintah Indonesia belum melaksanakan program yang berskala nasional untuk mencegah atau mengurangi peristiwa perundungan di kawan pendidikan dan kawasan yang jangkauannya lebih luas. Dewan Federasi Serikat Guru Indonesia pun belum menyanggupi ketentuan aturan peran guru agar bersikap lebih berani menindaklanjuti pelaku perundungan. Doni Koniesema, Dewan Pertimbangan Federasi Guru Indonesia menyatakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan untuk menanggulangi dan memutus rantai kekerasan di sekolah, yaitu: 1). Kebijakan anti perundungan dan kekerasan harus dilaksanakan di sekolah. 2). Memberikan pendidikan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari siswa, staff, guru, dan orang tua agar dapat menganalisis perilaku kekerasan. 3). Menerbitkan prisedur pelaporan tindakan perundungan dan kekerasan di sekolah. 4). Sebagai antisipasi siswa dan guru harus mempelajari cara menyikapi tindakan kekerasan. 5). Penyaluran kecenderungan tindakan agresif dengan menyalurkan minat, bakat, dan ketrampilan yang dimiliki oleh para siswa. Terkait dengan tidak adanya program anti perundungan di Indonesia, hendaknya terdapat beberapa upaya dari Pemerintah Indonesia untuk mencegah perundungan, yaitu dengan cara pendekatan norma hukum yang terkait dengan perundungan dan pendekatan perilaku. Pendekatan Norma Hukum: Upaya pencegahan perundungan tepatnya di institusi Pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti: Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 tahun 2016 (Permendikbud 18 tahun 2006) tentang pengenalan Lingkungan Sekolah bagi Siswa Baru yang menggantikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru.
Menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak 2014). Pertimbangan diaturnya masalah kekerasan disebebabkan karena "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945". Ketentuan ini menekankan komitmen pemerintah untuk melindungi anak Indonesia dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di lingkungan manapun.
Melalui Pasal 1 UU Nomor 35 Tahun 2014, yang dimaksud dengan kekerasan adalah "Setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemukulan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum." Selain itu, perlindungan terhadap hak-hak anak di sekolah juga ditambahkan di Pasal 9 dan Pasal 25 UU Perlindungan Anak 2014. Pasal 9 ayat (1a) setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Hak anak ini kembali dipertegas dengan adanya ketentuan yang memberi kewajiban kepada masyarakat, termasuk di sini adalah para akademisi untuk ikut serta dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak (Pasal 25). Pelaku pelanggaran atas hak-hak anak dapat dipidana penjara dan pidana denda.
Pendekatan Perilaku: tindakan yang diambil adalah institusi pendidikan khususnya sekolah menengah pertama di Jawa Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan UNICEF melalui program Roots. Program Roots adalah program global yang mencegah terjadinya kekerasan di kalangan teman sebaya yang berfokus pada usaha membentuk kondisi yang aman di sekolah dengan mengaktifkan peran siswa sebagai Influencer atau Agents of Change.
Mengutip pendapat dari Gunawan Santoso, et al., (2021) dalam penerapan ini, Indonesia dapat mengusulkan konstribusi yang bersifat relevan dalam menciptakan perdamaian dunia di abad 21 serta mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai negara yang berperan aktif dalam perdamaian dan keamanan global. Penerapan dari analisis keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional untuk perdamaian dunia di abad 21 dapat dilaksanakan dengan beberapa cara, yaitu: 1). Membangun tim penelitian atau kelompok kerja dari beberapa ahli luar negeri dan dalam negeri untuk melakukan investigasi dan refleksi yang komprehensif terkait peran serta partisipasi Indonesia dalam organisasi internasional untuk perdamaian dengan melihat tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia. 2). Menyelenggarakan seminar nasional dan internasional yang membahas isu-isu global dalam substansi keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional guna mendapatkan perdamaian di dunia abad 2. 3). Mengeratkan hubungan kerjasama dengan organisasi internasional seperti ASEAN, PBB, dan sebagainya dalam memasarkan perdamaian dan keamanan di dunia. 4). Meningkatkan peran Indonesia sebagai mediator dalam menyelesaikan permasalahan antar negara dan kelompok di seluruh dunia. 5). Menguatkan keikutsertaan Indonesia dalam misi perdamaian internasional dengan berkontribusi dalam menjaga perdamaian dan penyelesaian permasalahan di negara lain. 6). Memajukan kerjasama regional di antara negara-negara yang ada di Asia Tenggara dan yang lain guna menciptakan kawasan yang damai dan stabil. 7). Mengokohkan keamanan regional dan internasional untuk membantu memberantas ancaman keamanan global seperti terorisme dan peredaran senjata secara ilegal.
Kesimpulan
Penelitian ini menganalisis fenomena bullying yang marak terjadi di lingkungan masyarakat dan sekolah di Indonesia. Perundungan adalah perilaku mengejek, mempermalukan, atau menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Karena adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban, bullying terjadi dan membuat korban tertekan secara psikologis dan emosional. Seperti dilansir International Center for Research on Women (ICRW), di Indonesia, hampir 83% anak-anak pernah mengalami perundungan di sekolah. Hal ini menjadikan masalah ini perlu mendapat perhatian serius dan berkelanjutan karena kasusnya dianggap paling banyak di Indonesia. Di ranah hukum, bullying melanggar hak asasi anak yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh kembang, dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Perundungan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu perundungan verbal, perundungan fisik, perundungan nonverbal, dan perundungan seksual. Perundungan yang bersifat verbal melibatkan ejekan dan hinaan, sedangkan perundungan fisik melibatkan penggunaan kekerasan. Selain itu, perundungan non-verbal dapat terjadi dalam bentuk gerakan yang menghina, sedangkan bullying seksual dapat berupa ucapan dan tindakan yang tidak senonoh. Dampak bullying pada korban sangat merusak; termasuk gangguan emosional, hilangnya rasa percaya diri, masalah konsentrasi, dan gangguan fisik termasuk sakit perut dan gemetar. Ada juga perasaan terisolasi di antara para korban yang juga merasa sulit bersosialisasi dengan orang lain. Di sisi lain, pelaku bullying juga menderita konsekuensi negatif termasuk peningkatan agresi, hilangnya empati, perilaku impulsif yang menghambat kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial. Meskipun di tengah banyaknya tantangan dan hambatan seperti perbedaan kepentingan antara negara-negara lain, Indonesia tetap mempunyai partisipasi aktif dalam organisasi internasional seperti PBB, ASEAN, dan GTCF untuk mengupayakan kepentingan nasional dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan dunia di tingkat global. Selain itu, pemerintah Indonesia juga memiliki beberapa peraturan undang-undang yang berkaitan dengan kasus kekerasan kriminal khususnya kasus perundungan.
Â
Daftar Pustaka
Andryawan, Y., Harun, O. P., Venessa, C., Hiumawan, E. J., & Georgiana, M. (n.d.). Analisis tindak pelaku bullying di sekolah terhadap pembentukan karakter dalam masyarakat.
Fitriana, M. N. F. A. A., & Fauzi, A. (2023). Analisis tindak perundungan siswa sekolah dasar dan upaya penanggulangannya. Yustisia Tirtayasa: Jurnal Tugas Akhir, 3(3), 287-295.