Dari hasil kuliah psikologi kognitif siang ini yang menjelaskan tentang “Kognisi Sepanjang Masa Kehidupan” aku jadi ingat cerita kakek ku dulu.
Sore itu aku dan kakek sedang duduk-duduk santai di depan rumah. Kakek melihat jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan, bahkan yang memakai sepeda pun sudah jarang. Lantas kakek bercerita kepada ku, “Dulu itu, nggak ada yang nama nya mobil sewaktu kakek muda. Mobil itu yang punya hanya orang-orang bangsawan dan keturunan belanda asli. Jangan kan mobil sepeda ontel saja yang punya hanya beberapa orang yang memang dari keluarga berada walaupun bukan dari kalangan bangsawan.” Aku mendengarkan dengan seksama cerita kakek karena aku anggap ini adalah cerita yang menarik. Kakek menghela nafas sebentar, lalu melanjutkan ceritanya “ Dulu itu nduk, kakek berlarian kesana-kemari membela Negara ini.” Aku tahu kalau kakek ku dulu adalah seorang pejuang, karena kakek ku sering di undang untuk mengahadiri acara para veteran saat hari pahlawan.
“ Kakek dulu punya sahabat, dia adalah teman kakek satu-satunya, teman berjuang melawan belanda, teman mencari perlindungan, mencari persembunyian dan hampir semuanya kita lakukan bersama. Namanya Suteno, kakek memanggilnya Teno. Dia orangnya gagah, tinggi sepertiku, dia juga sangat pintar dan berani. Kakek ingat waktu kita bersama belajar di gubuk pak Juri waktu itu, dia selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru. Saat latihan perang pun dia di tunjuk menjadi pemimpin perang karena kegagahannya dan ketangkasannya dalam melawan musuh.
Hingga saat itu tiba. Belanda menyerbu wilayah kami, mereka meminta sembako dan lainnya kepada penduduk kami. Mereka meminta dengan kekerasan hingga para pejuang kita pun tidak terima dengan hal itu. Ada yang mencoba melawan permintaan mereka dan langsung di bunuh di tempat. Kakek menyaksikan sendiri hal itu. Lantas kakek lari dan melaporkan hal itu kepada Teno dan yang lainnya. Lalu kami turun tangan, kami bersiap untuk maju melawan para Belanda itu. Kami mempersiapkan semua, perlengkapan perang kita bawa dan kita berlari ke tempat mereka berada. Teno yang memimpin pasukan kami, dia terlihat geram dan gagah. Kita melawan hingga terjadi pertempuran. Walaupun kakek tinggi dan berbadan besar begini, kakek ini penakut.” Dia tersenyum kepada ku, aku pun hanya menertawakan renyah. Dalam pikiran ku sudah terbayang bagaimana perjuangan kakek hingga sampai saat ini.
“Lalu sahabat kakek yang bernama Teno itu sekarang beliau dimana? Apakah sudah meninggal? Karena saya tidak pernah tahu orangnya, dia pun juga tidak pernah datang ke rumah.” mendengar pertanyaan ku itu, kakek terdiam dan matanya terlihat berair. Beliau menerawang jauh.
“Ya waktu berperang melawan Belanda saat itu, kami berdua lari mencari perlindungan dari serangan tembak para penjajah itu. Teno bilang kita bisa melawan dari arah belakang. Kita lalu berlari mencari jalan pintas untuk menempatkan strategi. Saat tiba dipertigaan jalan, Teno bilang pada ku untuk berlari ke arah kanan dan dia ke arah kiri, dia berpesan “Nanti kita bertemu di gubuk pak Juri untuk menemukan strategi, sekarang aku akan mengalihkan mereka dahulu.” Aku menoleh kebelakang ada dua penjajah yang mengejar kita. Teno sudah berlari ke arah kiri, lalu aku berlari ke arah kanan seperti yang di perintahkannya. Aku menunggunya dengan was-was hingga malam hari. Aku mendapat berita bahwa Belanda sudah pergi dari beberapa jam yang lalu namun Teno belum juga kembali. Aku memutuskan untuk keluar gubuk dan mencari Teno. Aku menyusuri jalan yang mungkin dilewati Teno saat di kejar penjajah tadi, dan saat itu aku menemukan tubuh Teno sudah terbujur kaku dengan tembakan di kaki, jantung, dan kepalanya. Dan pesan yang di sampaikan Teno itu tadi lah pesan yang terakhir yang ku dengar dari sahabatku.” Kakek berhenti bercerita untuk menyeka air matanya, aku pun ikut menangis mendengar cerita kakek waktu itu.
Lalu kakek bilang pada ku “Sekarang itu sudah enak nduk, semuanya sudah serba ada tidak harus melawan penjajah lagi, hanya sekarang kamu yang harus berjuang untuk membanggkan kedua orang tua mu dan kakek mu ini.” Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum pada kakek karena aku masih sesenggukan setelah menangis tadi.
Itulah sedikit cerita ku tentang kakek ku. Kakek ku masih mengingat jelas peristiwa mudanya karena itu merupakan peristiwa yang pahit yang beliau alami, karena kita lebih banyak mengingat kejadian pahit daripada kejadian manis yang telah kita alami.
Nurriyati Izza bella
12410092
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H