Fenomena tahunan yang terjadi menjelang Ujian Nasional ( UNAS ). Hampir semua media menyuguhkan cerita tentang acara istighotsah bersama di sekolah. Bahkan ada yang menyelenggarakannya di Masjid Agung karena keterbatasan tempat di sekolah. Sebuah pemandangan yang dulu sempat membuat saya terheran-heran. Tetapi, ternyata di sekolah anak saya juga diadakan acara seperti itu. Bahkan, anak saya ( saat kelas 6 SD ) sempat kena marah gurunya karena lupa tidak mengenakan baju muslim. Untungnya dia selalu membawa sarung untuk sholat dhuhur di sekolah, karena pulangnya selalu sore, dan memakai kaos ( bukan kaos dalam ) sebagai baju pelengkap di balik baju seragamnya. Meski begitu, sangguru tetap tidak tersenyum melihatnya karena dia tidak memakai songkok. Untungnya lagi, anak saya tidak terlalu menganggap momentum istighotsah itu sebagai hal yang wajib untuk dilakukan, jadinya dia santai saja meski tampil beda. Mmmm….
Yang jadi pertanyaan, apakah istighotsah itu harus dan wajib untuk dilakukan ? Mengapa kegiatan ujian ( UNAS ) yang memang harus dan wajar untuk dilalui oleh setiap siswa menjadi begitu bombastis ( baca : berlebihan) dalam menyikapinya ? Siapa yang memulai dan mengajukan ide itu ? Sampai sekarang saya tidak menemukan jawabannya. Yang pasti, kegiatan semacam itu terkadang tidak berkorelasi positif terhadap mental siswa, terutama yang sedari awal sudah memiliki masalah dengan gangguan kecemasan. Bisa jadi bukan ketenangan yang dia dapat, melainkan rasa tidak percaya diri dan kecemasan yang justru muncul secara berlebih.
Bukan tidak mungkin muncul kecemasan yang berlebih. Coba saja bayangkan, mereka ( baca : siswa ) sudah mendapat tekanan dari orang tua yang memvonis dia harus lulus dengan nilai yang memuaskan, masih pula ditambah tekanan dari guru yang menyatakan bahwa tahun ini semua siswa harus lulus. Segala cara dan upaya dilakukan, baik oleh orang tua maupun guru. Mulai dari mencari bimbingan belajar yang terbaik, guru privat atau masuk intensif dengan biaya yang tidak murah dengan alasan nilai try outnya masih jauh dari memuaskan. Dan sekolah pun mengadakan jam pelajaran tambahan, dengan biaya sesuai kesepakatan wali murid dan pihak sekolah. Bahkan sampai menghalalkan segala cara termasuk mencontek massal seperti yang ramai dibicarakan pada UNAS SD tahun lalu.
Bagaimana bisa semua sekolah mengadakan istighotsah atau doa bersama, sedangkan tidak semua sekolah memiliki guru pembimbing agama yang lengkap ( Islam, Kristen, Budha, Hindu, Katolik atau kepercayaan yang lain ). Lalu, apakah hasilnya bisa dikatakan memuaskan ? Yang bisa menjawabnya hanyalah GURU. Ya. Saya katakan GURU. Karena merekalah yang berkecimpung secara langsung di dalam proses belajar mengajar dan bertanggung jawab terhadap jalannya proses ujian. Merekalah yang menjadi pengawas ujian dan mereka jugalah yang bisa menilai kualitas murid-murid yang datang kemudian di sekolah lanjutan.
Tahun lalu, hampir semua siswa SD di kota saya nilai rata-rata UNAS nya diatas sembilan. Bukan hanya di SD kota saja melainkan hampir semua SD, sampai ke pelosok-pelosok desa di seluruh penjuru mata angin. Sempat saya berpikir, kalau begitu tidak ada gunanya memilih sekolah atau memasukkan anak-anak ke bimbingan belajar. Karena hanya dengan belajar di sekolah saja nilainya sudah sangat sangat memuaskan. Bahkan nilai sempurna, rata-rata sepuluh, didapat oleh siswa SD yang sekolah di pelosok desa. Alhasil, siswa yang memiliki rata-rata nilai dibawah sembilan, meskipun delapan koma sembilan, saat itu tidak dapat memasuki satupun SMP Negri yang ada. Nilai-nilai yang muncul secara fantastis dan mengejutkan itu menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam pemerataan pendidikan dan peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi guru memberikan hasil yang patut diacungi jempol. Hampir semua siswa lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, rata-rata di atas sembilan. Sayangnya saya tidak bisa menampilkan disini, karena web yang dulu digunakan sebagai patokan untuk melihat rangking penerimaan siswa dan sempat saya sharing di facebook, saat saya buka kembali hanya muncul tulisan “ Dengan mengucap Alhamdulillah PPDB 2011 SELESAI. Terima kasih. “. Sedangkan di web yang lain saya tidak melihat lagi satu nilai yang sempurna dengan nilai rata-rata sepuluh.
Tetapi di sisi lain, banyak yang beranggapan bahwa pada UNAS tahun lalu telah terjadi kebocoran soal meskipun tidak ada yang bisa dan berani pasang badan menunjukkan buktinya. Ada satu murid yang mengadu kepada orang tuanya dan kemudian mereka sekeluarga sempat masuk televisi, tetapi hasil yang didapat malah permusuhan. Dianggap tidak mau bekerja sama. Sampai mereka dikucilkan oleh warga di kampungnya. Entah siapa yang memulai. Yang pasti, kemungkinan kecurangan dalam ujian saat ini sudah bukan rahasia lagi. Bisa dilihat dari upaya ketatnya pengawasan dan pendampingan soal-soal ujian mulai dari pembuatan soal, pencetakan, pendistribusian, bahkan sampai saat mau ujian pun semua sudah diatur sedemikian rupa untuk menghindari adanya kebocoran. Bayangkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk pengamanan soal-soal itu ?
Kadang saya sampai merasa geli sendiri. Kalau memang semua yang bertanggungjawab dengan ujian itu sanggup dan berani mengatakan bahwa tidak ada kecurangan, mestinya tidak perlu sampai seribet dan serepot itu dalam memperlakukan soal-soal ujian. Tetapi, mungkin memang harus benar-benar ribet dan repot dalam mempersiapkan segala sesuatunya, agar tidak terjadi seperti pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga yang artinya hanya karena kesalahan kecil yang nampak tiada artinya seluruh persoalan, menjadi kacau dan berantakan.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah di luar negri jika mau ujian nasional juga seheboh di Indonesia ? Saya tidak tahu. Juga bertanya-tanya, apakah di saat pendidikan masih langka ( baca : masa perjuangan ) dulu juga ada kemungkinan soal ujian bocor dan perlakuannya juga ketat seperti sekarang ? Untuk pertanyaan kedua jawabannya pasti tidak, karena saat itu tidak semua anak Indonesia mendapat kesempatan untuk sekolah, bukan karena tidak mampu melainkan karena memang tidak diberi kesempatan. Beda halnya dengan sekarang. Wajib belajar sembilan tahun memungkinkan semua anak Indonesia untuk sekolah di Sekolah Dasar, meskipun dari keluarga yang tidak mampu. Sedangkan sekolah lanjutan milik pemerintah jumlahnya masih tidak seimbang dengan jumlah lulusan. Alhasil, tidak semua lulusan dapat tertampung di sekolah negri, sedangkan untuk sekolah di sekolah swasta banyak orang tua yang tidak mampu mengingat tingginya biaya pendidikan yang harus ditanggung. Sehingga ada rumor yang mengatakan bahwatidak ada sekolah gratis untuk orang yang tidak mampu.
Sebenarnya, kehebohan menjelang UNAS tidak perlu terlalu berlebihan. Bukankah setiap hari sebelum dimulai pelajaran selalu diajarkan untuk berdoa bersama sesuai keyakinannya masing-masing. Setiap hari sholat lima waktu, bahkan ada yang rutin sholat sunnah malam hari dan puasa sunnah bagi yang beragama Islam. Bukankah semua mata pelajaran sudah diajarkan dan dipahami dengan baik yang bisa dilihat dari hasil ulangan ataupun tugas-tugas sekolah. Bahkan kadang sampai ada waktu tambahan di sekolah untuk mengejar target yang belum tercapai, meski dengan biaya tambahan yang hanya wali murid dan sekolah yang tahu. Bukankah setiap minggu sudah diadakan try out untuk mengetahui kemampuan siswa, meski mungkin sekolah tidak menggunakan kompetensi para guru yang ada di sekolah, melainkan bekerja sama dengan bimbingan belajar. Dan untuk yang ikut bimbingan belajar, setiap hari mereka sudah berlatih segala macam soal dengan segala trik-trik jawaban yang hebat dan cepat. Artinya, semua siswa dan juga guru sudah berjuang habis-habisan untuk mempersiapkan UNAS. Mulai dari mengajar, belajar dan berdoa.
Seyogyanya, sekolah tidak memberikan kesan bahwa ujian adalah sebuah peristiwa yang menakutkan. Bagaimana bisa membina mental yang kuat jika sebuah hal yang wajar untuk dilakukan dijadikan sebagai sesuatu hal yang menakutkan ? Yang pasti, untuk sebuah keberhasilan dalam proses belajar tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan pemerintah. Keluarga, dalam hal ini orang tua, juga punya andil yang cukup besar dalam upaya menumbuhkan rasa percaya diri pada anak yaitu dengan tidak perlu menunjukkan kepanikan yang berlebihan saat menjelang UNAS, terutama di hadapan anak. Demikian juga di dalam lingkungan masyarakat, harus dihilangkan segala hal yang bersifat merendahkan kemampuan seorang anak hanya dengan berpatokan pada lulus dan tidak lulus, atau patokan bisa masuk sekolah negri atau tidak.
Pemerintah pun seharusnya mampu menerapkan satu sistem yang terbaik, sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, untuk menguji kemampuan siswa. Satu sistem yang tetap, bukan dengan trial and error seperti saat ini yang hampir setiap tahun berubah. Tidak perlu terlalu berambisi meniru dan berpatokan dengan negara lain, karena kondisi proses belajar mengajar di tiap-tiap negara tidaklah sama. Dan Indonesia juga bukan hanya pulau Jawa, melainkan dari Sabang sampai Merauke.
Untuk semua siswa yang akan menempuh ujian, percayalah dengan kemampuan sendiri. Pepatah bijak mengatakan “ barangsiapa yang berjalan di jalan yang benar, pasti akan sampai ke tujuan “. Berusahalah, dan Tuhanmu pasti melihatnya.
Semoga sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H