Apa hal yang paling patut dipertanyakan atas manusia? Sedikit banyak jawaban yang keluar atas pertanyaan tentu berbeda-beda, tapi yang pasti adalah suatu hal esensial yang menjadi landasan dasar manusia untuk menunjukkan bukti entitas sahnya sebagai manusia , mari kita sepakat bahwa hal esensial itu adalah Moral. Seberapa besar keyakinan hidup manusia bergantung pada moral adalah seberapa besar keyakinannya dianggap sebagai makhluk beradab. Moral adalah landasan untuk menempatkan perilaku-perilaku manusia menjadi terarah sebagai tindakan penyaluran tiap-tiap kehendak manusia sebagai makhluk yang disebut berakal dan berfikir.
Setidaknya tentu kita menyadari pada situasi dekadensi moral manusia yang terjadi sekarang, dan mungkin juga pasti terjadi pada masa lalu. Dalam sejarah, rusak luluh lantahnya sebuah peradaban besar tak lepas dari rusaknya Moral para aktor-aktor peradaban itu sendiri. Hal ini seakan sudah menjadi pola-pola hukum sejarah dan semakin menegaskan bahwa moral memiliki peran esensial. Tak ada aspek kehidupan manusia yang tak rusak dan bobrok karena hal fundamental ini. Perilaku-perilaku amoral bukan penyakit kelas, ia adalah sejenis virus-virus yang paling berbahaya dan mudah menular kepada siapa saja, dan bukan perkara mudah untuk menemukan penawarnya.
Berbagai intuisi etika moral yang diusung oleh Agama, kepercayaan, ideologi , akar tradisi masyarakat atau apa saja dalam kenyataanya bukan menjadi faktor utama dalam membentuk manusia beradab . intuisi landasan moral tersebut tak sepenuhnya berhasil menciptakan tatanan masyarakat manusia yang sebagaimana dikehendaki. Atau memang seharusnya kita sepakat dengan pernyataan Thomas Hobbes, filsuf Inggris yang menganalogikan sikap manusia seperti halnya binatang melalui pernyataannya “homo homoni lupus” (manusia adalah binatang buas bagi lainnya) . Setidaknya pernyataan itu sah bahwa ada bukti “kebinatangan” dalam diri manusia yang tidak mudah untuk dihilangkan.
Kemudian manusia berinisiatif menciptakan “pawang-pawang” untuk menjinakkan moral binatang itu,berbagai institusi pendidikan dibuat oleh manusia untuk menjadi pembimbing dan pemberi arah yang sejalan dengan kebenaran akan nilai-nilai etika dan moral. Namun nyatanya tak benar-benar pernah ada institusi pendidikan yang secara nyata berhasil menjalankan perannya. Pendidikan yang dicanangkan untuk memproduksi manusia-manusia beradab hanya menjadi institusi-institusi semu perias kehidupan belaka. Manusia berada semakin jauh dari jangkauan keadaban. Jadi? Siapa yang harus jadi pawang sebenarnya?
Setidaknya kembali kita menilik kepada diri masing-masing, ada kesimpulan mendasar yang bisa kita temukan, mungkin ia tersembunyi dibilik-bilik terdalam bagian jiwa kita dan belum sempat kita menjumpainya. bahwa yang harus menjadi “pawang” sesungguhnya itu adalah diri kita sendiri, karena bagaimanapun juga moral adalah suatau hal yang harus lahir dari kesadaran diri manusia yang paling dalam . Menjadi pawang yang handal adalah keahlian untuk menjinakkan binatang, berjuang melawan “kebinatangan” sendiri. Ya, sang pawang harus pandai melawan dirinya sendiri, melawan untuk mengalahkannnya. Sang Binatang yang buas tak akan pernah jinak jika tak dilakukan dengan penjinakan yang benar. Ia harus dikalahkan terlebih dahulu. Setelah kemenangan telah dipihak sang pawang, ia menjadi tuan atas yang dikalahkannya. Inilah momentum bagi sang pawang untuk membimbing si “binatang” menjadi “manusia”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H