Mohon tunggu...
Izul Adib
Izul Adib Mohon Tunggu... -

Pembelajar yang masih belajar memahami semua yang wajar dianggap sebagai ajaran

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film Sejarah dan Edukasi Kebangsaan

15 April 2015   10:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:04 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 9 April 2015 lalu, film berjudul “Guru Bangsa Tjokroaminoto” mulai rilis. Film ini mengangkat cerita Indonesia masa pergerakan nasional abad 20. Masa yang dianggap sebagai awal terbentuknya embrio kebangsaan. Film ini terasa spesial karena dalam penggarapannya dilakukan secara teliti dan riset yang cukup serius. Yang tak kalah penting adalah kerja keras sutradara Garin Nugroho menghidupkan kembali sosok Tjokroaminoto. Guru dari para pendiri bapak bangsa yang tak banyak dikenal.  Ada hal menarik yang sekiranya perlu dibahas terkait film genre sejarah. Beberapa tahun terakhir ini, film bergenre sejarah mulai banyak diproduksi. Pada tahun 2014 lalu film “Soekarno” dan “Sang Kiai” adalah sekian dari film genre sejarah yang berhasil rilis. Industri perfilman Indonesia kembali melihat sejarah sebagai dimensi baru dalam berkarya.  Para sineas yang menggarap film genre ini patut kita apresiasi. Peran mereka untuk menghadirkan sejarah dalam bentuk karya audio-visual bisa menjadi jalan terang bagi sejarah dalam mengajarkan nilai-nilai kebangsaan kepada masyarakat.

Salah satu guna sejarah adalah fungsi edukasi. Hubungannya dengan pengajaran, Sartono Kartodirdjo (1992) mengatakan bahwa sejarah mempunyai kegunaan genetis dan didaktis. Dengan pengetahuan sejarah dimaksudkan agar generasi berikut dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyang. Di samping itu suri tauladan mereka dapat menjadi model bagi keturunannya. Yang menjadi ironi saat ini adalah  banyak orang mulai abai terhadap sejarah. Adagium tentang  JASMERAH (Jangan sekali-kali Meninggalkan Sejarah) yang dilontarkan oleh Bung Karno secara berapi-api pada puluhan tahun silam mulai terlupa dibenak sebagian besar orang. Tengok saja tingkah polah para pejabat dan politisi partai sekarang. Tanpa peduli akan amanat konstitusi Pancasila dan UUD 1945 dengan seenaknya mereka mempermainkan hukum hanya demi jalan meloloskan kepentingan golongan atau pribadi. Apakah mereka tidak memahami bagaimana rumitnya para founding father merumuskan Pancasila dan UUD 1945 ? Di tingkat bawah, sentimen masyarakat terkait etnis dan agama juga masih kuat. Kampanye anti-Ahok beberapa waktu lalu adalah salah satu contoh riilnya. Bangsa ini pernah meninggalkan luka sejarah terkait sentimen etnis dan ideologi, belajarkah mereka dari tragedi pembantaian 1965? Kenyataan ini membuktikan masih banyak orang yang buta akan sejarah. Sedangkan sejarah sendiri harus tetap dipahami ke belakang sekaligus di sikapi kedepan sebagai penunjuk arah agar bangsa Indonesia tak menjadi bangsa yang tersesat.

Realitasnya, pengetahuan sejarah yang diperoleh masyarakat pada umumnya hanyalah terbatas ketika masih duduk di bangku SD-SMA. Itupun  diajarkan melalui buku-buku teks pelajaran di sekolah yang sebagian besar dianggap membosankan. Maka tak heran sebagian besar masyarakat Indonesia kurang tertarik untuk mempelajari sejarah apalagi memahaminya. Pelajaran sejarah di buku teks pelajaran sekolah diajarkan tak lebih hanya berupa kronik, yakni berupa penggalan-penggalan tentang peristiwa masa lalu. Dalam ilmu sejarah kronik hanya merupakan cerita sejarah yang tidak memiliki “nilai sejarah”. Sedangkan sejarah sendiri bukan hanya tentang pengetahuan tentang masa lalu. Tetapi cerita tentang peristiwa masa lalu yang mampu membangkitkan gairah kebangsaan. Sejarah lebih bernyawa dibandingkan kronik. Oleh karenanya film menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan sejarah secara ringan dan mudah dibanding melalui teks-teks konvensional. Sungguh penulis berharap kedepannya film-film bergenre sejarah semakin berkembang dan mendapat tempat di masyarakat sebagai bagian dari media edukasi kebangsaan.


Tulisan ini juga dimuat di Koran “Jateng Ekspres” edisi Senin, 13 April 2015 untuk rubrik “Ruang Publik”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun